بسم الله الرحمن الرحيم
نحمده ونصلى على رسوله الكريم
Buktinya yang menunjukkan atas kepakaran al-Baghdadi adalah
banyaknya karya yang lahir dari tangannya. Di antara karya yang paling
terkenal dan menjadi salah rujukan utama mengenai aliran-aliran teologi
dalam Islam adalah al-Farq baina al-Firaq (Perbedaan di antara
Aliran-aliran). Sebuah buku yang mencoba menelusuri dan menjelaskan
secara ringkas-padat tentang aliran-aliran teologi dalam Islam.
Salah satu rujukan yang digunakan al-Baghdadi dalam bukunya adalah buku Maqalat al-Islamiyyin karya
Abu al-Hasan al-Asy’ari. Meskipun al-Baghdadi tidak menyebutkannya
tetapi jika membandingkan kedua buku tersebut maka akan tampak jelas
bahwa al-Baghdadi dalam banyak hal mengutip pendapat Abu al-Hasan
al-Asy’ari.
Salah satu contohnya adalah ketika al-Baghdadi menjelaskan tentang al-Yunusiyyah,
yaitu salah satu sempalan dari sekte Murji`ah. Al-Baghdadi menjelaskan
bahwa menurut mereka iman terdapat dalam hati dan lisan, yaitu
mengetahui Allah, mencintai, dan tunduk kepada-Nya dan mengikrarkan
dengan lisan. [H. 199]. Pemamparan al-Baghdadi ini sama seperti yang
dijelaskan oleh Abu al-Hasan al-Asy`ari dalam Maqalat al-Islamiyyin. [Lihat Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, H. 132].
Buku al-Baghdadi ini lahir sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai
makna prediksi Nabi bahwa akan ada keterpecahan di antara umatnya (iftiraq al-ummah) menjadi tujuh puluh tiga sekte dan hanya satu yang selamat. Penulisnya membagi isi buku tersebut menjadi lima bab. [H. 9, 10].
Pertama, menjelaskan tentang hadits perpecahan umat menjadi tujuh puluh tiga sekte. Kedua, menjelaskan secara global mengenai sekte-sekte umat Islam dan sekte-sekte yang bukan termasuk Islam. Ketiga, menjelaskan pandangan setiap sekte yang sesat. Keempat, menjelaskan sekte yang berafiliasi kepada kepada Islam tetapi bukan dari kalangan sekte Islam. Kelima, menjelaskan sekte yang selamat.
Bab pertama, al-Baghdadi mencoba mengurai tranmisi (sanad) hadits tentang perpecahan. Menurut penelitiannya, ada banyak sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut dari Nabi Saw. Di antaranya ialah Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Darda, Jabir, Abu Sa’id al-Khudri, Ubay bin Ka’b, Abdullan bin Amr bin al-Ash, Abu Umamah, dan Watsilah bin al-Asyfa’. Sedangkan generasi setelah sahabat banyak yang meriwayatkan hadits tersebut dari para sahabat. [H. 16-17].
Dalam kacamata al-Baghdadi, bahwa perpecahan yang dimaksud dalam prediksi Nabi adalah perpecahan dalam arti perbedaan mengenai ushul ad-din bukan perbedaan dalam masalah cabang-cabang fiqh. Sebab, menurutnya, para fuqaha` meskipun berselisih dalam soal furu’ tetapi mereka bersepakat dalam hal yang menyangkut ushul ad-din. [H. 17].
Jadi, secara implisit al-Baghdadi berpandangan bahwa perbedaan pendapat para fuqaha` dalam soal furu’ tidak berdampak pada penyesatan terhadap mereka. Meskipun mereka salah dalam berpendapat. Sebab, dalam soal ushul ad-din mereka bersepakat.
Bab kedua, al-Baghdadi mencoba membahas tentang bagaimana terjadinya perpecahan umat sehingga mencapai tujuh puluh tiga sekte. Menurut al-Baghdadi, peristiwa awal yang menimbulkan perselisihan antara umat Islam adalah kematian Nabi saw. Sebagian ada yang menganggap bahwa Nabi saw tidaklah wafat, ia hanya dianggkat Allah swt ke langit sebagaimana yang terjadi pada nabi Isa as. Sebagian lagi mengatakan bahwa Nabi saw telah wafat.
Perselisihan ini kemudian dapat diselesaikan oleh Abu Bakar ra seraya berkata, “man kana ya’budu muhammadan fa inna muhammadan qad mata wa man kana ya’budu rabba muhammad fa innahu hayyun la yamut” (Barang siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya ia telah wafat, dan barang siapa yang menyembah Tuhan Muhammad maka sesungguhnya Ia adalah Dzat Yang Maha Hidup dan tidak akan pernah mati). [H. 25].
Pandangan ini berbeda dengan Abu al-Hasan al-Asy`ari yang menyatakan bahwa awal mula timbulnya perselisihan dalam umat Islam adalah soal imamah. [Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, H. 2]. Jadi, Al-Asy’ari melihat bahwa perselisihan umat Islam pada dasarnya bermula dari persoalan politis, yaitu menyangkut soal imamah atau kepempinan. Sedang al-Baghdadi melihat bahwa perselisihan itu berangkat dari persoalan teologis, yaitu tentang apakah Nabi telah wafat atau memang ia tidak wafat tetapi diangkat oleh Allah ke langit sebagaimana nabi Isa as.
Bagian ketiga, menguraikan pandangan atau keyakinan pelbagai sekte yang tersesat dan menjelaskan tentang kekeliruan pandangan mereka. Di antaranya adalah pandangan sekte Rafidhah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah, Murji`ah, Najjariyyah, dan lainnya. Pada bagian ini al-Baghdadi membeberkan aliran sempalan dari sekte-gologan tersebut secara ringkas dan padat sehingga memudahkan kepada para pembaca untuk mengkajinya.
Bab keempat, menguraikan tentang sekte yang berafiliasi pada Islam tetapi pada sebenarnya bukan termasuk dari sekte Islam. Dalam bagian ini al-Baghdadi menguraikan kembali perbedaan para teolog Islam (mutakallimin) mengenai siapa yang disebut atau diketegorikan sebagai umat Islam.
Salah satu sekte yang dianggap berafiliasi kepada Islam tetapi sebenarnya bukan Islam adalah Saba`iyyah, yaitu pengikut Abdullah bin Saba yang memposisikan sahabat Ali KW.dengan sangat berlebihan sehingga ia dianggap sebagai nabi. Bahkan sikap Abdullah bin Saba tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi ia malah semakin jauh mengkultuskan sahabat Ali kw dengan menganggapnya sebagai Tuhan. [H. 335].
Bab kelima, menguraikan tentang sekte yang selamat, yaitu ahl as-sunnah wa al-jama’ah serta pandangan-pandangan yang mereka pegangi. Salah satunnya adalah pandangan mereka seputar Sang Pencipta alam semesta dan sifat-sifat dzatiyyah-Nya. Bagi ahl as-sunnah wa a-jama’ah Pencipta alam semesta adalah juga Pencipta ajsam (jisim-jisim) dan a’rad (aksiden-aksiden atau sifat-sifat).
Pertama, menjelaskan tentang hadits perpecahan umat menjadi tujuh puluh tiga sekte. Kedua, menjelaskan secara global mengenai sekte-sekte umat Islam dan sekte-sekte yang bukan termasuk Islam. Ketiga, menjelaskan pandangan setiap sekte yang sesat. Keempat, menjelaskan sekte yang berafiliasi kepada kepada Islam tetapi bukan dari kalangan sekte Islam. Kelima, menjelaskan sekte yang selamat.
Bab pertama, al-Baghdadi mencoba mengurai tranmisi (sanad) hadits tentang perpecahan. Menurut penelitiannya, ada banyak sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut dari Nabi Saw. Di antaranya ialah Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Darda, Jabir, Abu Sa’id al-Khudri, Ubay bin Ka’b, Abdullan bin Amr bin al-Ash, Abu Umamah, dan Watsilah bin al-Asyfa’. Sedangkan generasi setelah sahabat banyak yang meriwayatkan hadits tersebut dari para sahabat. [H. 16-17].
Dalam kacamata al-Baghdadi, bahwa perpecahan yang dimaksud dalam prediksi Nabi adalah perpecahan dalam arti perbedaan mengenai ushul ad-din bukan perbedaan dalam masalah cabang-cabang fiqh. Sebab, menurutnya, para fuqaha` meskipun berselisih dalam soal furu’ tetapi mereka bersepakat dalam hal yang menyangkut ushul ad-din. [H. 17].
Jadi, secara implisit al-Baghdadi berpandangan bahwa perbedaan pendapat para fuqaha` dalam soal furu’ tidak berdampak pada penyesatan terhadap mereka. Meskipun mereka salah dalam berpendapat. Sebab, dalam soal ushul ad-din mereka bersepakat.
Bab kedua, al-Baghdadi mencoba membahas tentang bagaimana terjadinya perpecahan umat sehingga mencapai tujuh puluh tiga sekte. Menurut al-Baghdadi, peristiwa awal yang menimbulkan perselisihan antara umat Islam adalah kematian Nabi saw. Sebagian ada yang menganggap bahwa Nabi saw tidaklah wafat, ia hanya dianggkat Allah swt ke langit sebagaimana yang terjadi pada nabi Isa as. Sebagian lagi mengatakan bahwa Nabi saw telah wafat.
Perselisihan ini kemudian dapat diselesaikan oleh Abu Bakar ra seraya berkata, “man kana ya’budu muhammadan fa inna muhammadan qad mata wa man kana ya’budu rabba muhammad fa innahu hayyun la yamut” (Barang siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya ia telah wafat, dan barang siapa yang menyembah Tuhan Muhammad maka sesungguhnya Ia adalah Dzat Yang Maha Hidup dan tidak akan pernah mati). [H. 25].
Pandangan ini berbeda dengan Abu al-Hasan al-Asy`ari yang menyatakan bahwa awal mula timbulnya perselisihan dalam umat Islam adalah soal imamah. [Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, H. 2]. Jadi, Al-Asy’ari melihat bahwa perselisihan umat Islam pada dasarnya bermula dari persoalan politis, yaitu menyangkut soal imamah atau kepempinan. Sedang al-Baghdadi melihat bahwa perselisihan itu berangkat dari persoalan teologis, yaitu tentang apakah Nabi telah wafat atau memang ia tidak wafat tetapi diangkat oleh Allah ke langit sebagaimana nabi Isa as.
Bagian ketiga, menguraikan pandangan atau keyakinan pelbagai sekte yang tersesat dan menjelaskan tentang kekeliruan pandangan mereka. Di antaranya adalah pandangan sekte Rafidhah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah, Murji`ah, Najjariyyah, dan lainnya. Pada bagian ini al-Baghdadi membeberkan aliran sempalan dari sekte-gologan tersebut secara ringkas dan padat sehingga memudahkan kepada para pembaca untuk mengkajinya.
Bab keempat, menguraikan tentang sekte yang berafiliasi pada Islam tetapi pada sebenarnya bukan termasuk dari sekte Islam. Dalam bagian ini al-Baghdadi menguraikan kembali perbedaan para teolog Islam (mutakallimin) mengenai siapa yang disebut atau diketegorikan sebagai umat Islam.
Salah satu sekte yang dianggap berafiliasi kepada Islam tetapi sebenarnya bukan Islam adalah Saba`iyyah, yaitu pengikut Abdullah bin Saba yang memposisikan sahabat Ali KW.dengan sangat berlebihan sehingga ia dianggap sebagai nabi. Bahkan sikap Abdullah bin Saba tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi ia malah semakin jauh mengkultuskan sahabat Ali kw dengan menganggapnya sebagai Tuhan. [H. 335].
Bab kelima, menguraikan tentang sekte yang selamat, yaitu ahl as-sunnah wa al-jama’ah serta pandangan-pandangan yang mereka pegangi. Salah satunnya adalah pandangan mereka seputar Sang Pencipta alam semesta dan sifat-sifat dzatiyyah-Nya. Bagi ahl as-sunnah wa a-jama’ah Pencipta alam semesta adalah juga Pencipta ajsam (jisim-jisim) dan a’rad (aksiden-aksiden atau sifat-sifat).
Dengan pandangan ini mereka kemudian mengkafirkan Mu’ammar dan para
pengikutnya dari kalangan Qadariyyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya
Allah tidak menciptakan a’rad tetapi hanya mencipatakan ajsam. Dan ajsam-lah yang merupakan pencipta a’rad
dengan sendirinya. [H. 337].Meskipun demikian, buku ini telah
memberikan jasa yang sangat besar karena telah berhasil dengan baik
menggambarkan pergolakan dan wacana pemikiran teologis pada saat itu.
Mengenai aqidah ahlusunnah yang sangat penting dalam Bab ini ialah
mengenai aqidah sunni “Allah ada Tanpa Tempat /Allah Maujud Bilaa Makan)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Allah ada pada azal
(keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R.
al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan),
tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin,
cahaya, kegelapan, ‘Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat
dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah,
maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari
semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah
ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata:
“Allah ta’ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu”.
Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata:
“Allah ta’ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu”.
Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa
tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal
akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat
dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah.
Dalam sebuah riwayat “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi
Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa
sallam:
Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.
Tidak Boleh dikatakan Allah ada di atas ‘Arsy atau ada di mana-mana
Seperti dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari, perkataan sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya-:
“Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia
(Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada
tanpa tempat” (Dituturkan oleh al Imam Abu Manshur alBaghdadi dalam
kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333).
Karenanya tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau di
mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua
arah penjuru. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani (W. 973 H) dalam kitabnya
al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash:
“Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana”. Aqidah yang mesti
diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Al Imam Ali -semoga Allah meridlainya- mengatakan yang
maknanya: “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang
paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untukmenjadikannya
tempat bagi Dzat-Nya” (diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam
kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 333)
Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- juga mengatakan yang
maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh
dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang
menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya
bagaimana” (diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam
kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)
Allah Maha suci dari Hadd
Maknanya: Menurut ulama tauhid yang dimaksud al mahdud (sesuatu
yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil
maupun besar. Sedangkan pengertian al hadd (batasan) menurut mereka
adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang
terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai
ukuran demikian juga ‘Arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing
mempunyai ukuran.
Al Imam Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- berkata yang
maknanya: “Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita
berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum
beriman kepada-Nya)” (diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W. 430 H) dalam
Hilyah al Auliya’, juz I hal. 72).
Maksud perkataan sayyidina Ali tersebut adalah sesungguhnya
berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang kecil atau berkeyakinan bahwa
Dia memiliki bentuk yang meluas tidak berpenghabisan merupakan
kekufuran. Semua bentuk baik Lathif maupun Katsif, kecil ataupun besar
memiliki tempat dan arah serta ukuran. Sedangkan Allah bukanlah benda
dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karenanya ulama Ahlussunnah
Wal Jama’ah mengatakan: “Allah ada tanpa tempat dan arah serta tidak
mempunyai ukuran, besar maupun kecil”. Karena sesuatu yang memiliki
tempat dan arah pastilah benda. Juga tidak boleh dikatakan tentang Allah
bahwa tidak ada yang mengetahui tempat-Nya kecuali Dia. Adapun tentang
benda Katsif bahwa ia mempunyai tempat, hal ini jelas sekali. Dan
mengenai benda lathif bahwa ia mempunyai tempat, penjelasannya adalah
bahwa ruang kosong yang diisi oleh benda lathif, itu adalah tempatnya.
Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh suatu benda.
Al Imam As-Sajjad Zayn al ‘Abidin ‘Ali ibn al Husain ibn
‘Aliibn Abi Thalib (38 H-94 H) berkata : “Engkaulah Allah yang tidak
diliputi tempat”, dan dia berkata: “Engkaulah Allah yang Maha suci dari
hadd (benda, bentuk, dan ukuran)”, beliau juga berkata : “Maha suci
Engkau yang tidak bisa diraba maupun disentuh” yakni bahwa Allah tidak
menyentuh sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia tidak disentuh oleh
sesuatupun dari makhluk-Nya karena Allah bukan benda. Allah Maha suci
dari sifat berkumpul, menempel, berpisah dan tidak berlaku jarak antara
Allah dan makhluk-Nya karena Allah bukan benda dan Allah ada tanpa arah.
(Diriwayatkan oleh al Hafizh az-Zabidi dalam al Ithaf dengan
rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl
al Bayt; keturunan Rasulullah). Hal ini juga sebagai bantahan terhadap
orang yang berkeyakinan Wahdatul Wujud dan Hulul.
Tentang Buku
Judul Buku | : | al-Farq baina al-Firaq |
Penulis | : | Abu Manshur Abd al-Qahir bin Thahir bin Muhammad al-Baghdadi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar