Sabtu, 30 November 2013

Hindia (India, Pakistan, Bangladesh) dalam hadist


بسم الله الرحمن الرحيم
  نحمده ونصلى على رسوله الكريم



1. SAAT NABI ADAM AS. DI USIR DARI SURGA, MAKA ALLAH SWT TELAH TURUNKAN BELIAU DI BUMI INDIA :

Dari Qatadah ra, beliau berkata bahwa Allah swt meletakkan Baitullah (di bumi) bersama Nabi Adam as. Allah swt telah menurunkan Nabi Adam as di bumi dan tempat di turunkannya adalah di tanah INDIA. Dan dalam keadaan kepalanya di langit dan kedua kakinya di bumi, lalu para malaikat sangat memuliakan Nabi Adam as, kemudian Nabi Adam as pelan-pelan berkuranglah tinggi beliau. (H.R. Musonif Abdur Razaq).

Dari Ibnu Abbas r.huma. telah berkata : “Sesungguhnya tempat pertama dimana Allah swt turunkan Nabi Adam as di bumi adalah di INDIA”. (H.R.Hakim)

2.INDIA ADALAH NEGERI YANG WANGI

Dari Ali ra. Telah berkata : “Bumi yang paling wangi adalah tanah INDIA, di sanalah Nabi Adam as. Diturunkan dan pohonnya tercipta dari wangi surga”. (Kanzul Ummal).
Dari Ibnu Abbas r.anhum. telah meriwayatkan Ali Bin Abi Thalib ra. Telah berkata : “Di bumi tanah yang paling wangi adalah tanah INDIA (karena) Nabi Adam as. telah diturunkan di INDIA, maka pohon – pohon dari INDIA telah melekat wangi-wangian dari surga.” (H.R.Hakim)

3.BANJIR BESAR YANG TERJADI DI ZAMAN NABI NUH AS. BERASAL DARI INDIA

Dari Ibnu Abbas r.hum telah berkata bahwa Jarak antara Nabi Nuh as dengan hancurnya kaumnya adalah 300 tahun. Dari tungku api (tannur) di INDIA telah keluar air dan kapalnya Nabi Nuh as. Berminggu-minggu mengelilingi Ka’bah. (H.R.Hakim)

4.HUBUNGAN DIPLOMATIK RAJA-RAJA INDIA DENGAN RASULULLAH SAW SANGAT BAIK.

Dari Abu Sa’id Al Khudri ra. mengatakan bhwa seorang raja dari INDIA telah mengirimkan kepada Nabi saw. sebuah tembikar yang berisi jahe. Lalu Nabi saw. memberi makan kepada sahabat – sahabatnya sepotong demi sepotong dan Nabi saw pun memberikan saya sepotong makanan dari dalam tembikat itu. (H.R.Hakim)

5.FADHILAH KAYU INDIA YANG DISEBUT LANGSUNG DARI LISAN RASULULLAH SAW.

Dari Jabir ra. berkata bahwa suatu ketika bersama Ummul Mukminin ‘Aisyah r.ha ada seorang bayi yang dari hidungnya keluar darah (mimisan). Maka tiba-tiba Rasulullah saw. masuk lalu bersabda : ”Apa yang terjadi pada bayi ini?”. Aisyah ra. berkata bahwa dia terkena penyakit udzroh (sakit panas pada kerongkongan).
Rasulullah saw. lalubersabda : “Wahai seluruh wanita jangan bunuh anak – anak kalian!! Dan siapa saja wanita yang terkena sakit udzroh dan terkena sakit kepala, maka gunakanlah kayu aud dari INDIA untuk obat.
Jabir ra. berkata bahwa Rasulullah saw lalu menyuruh Aisyah r.ha. untuk melaksanakannya, maka Aisyah r.ha pun melaksanakannya (mengobati anak yang sakit itu dengan kayu aud),maka bayi itupun telah sembuh. (H.R.Hakim)
Keterangan : Qosth Hind adalah nama sejenis kayu aud yang hanya ada di INDIA.

6.PEPERANGAN DI INDIA YANG TELAH DIJANJIKAN OLEH RASULULLAH SAW.
Dari Abu Hurairah ra. berkata bahwa Nabi saw. telah menjanjikan kepada kami tentang perang yang akan terjadi di INDIA. Jika saya menemui peperangan itu maka saya akan korbankan diri dan harta saya. Apabila saya terbunuh, maka saya akan menjadi salah satu syuhada yang paling baik dan jika saya kembali (dengan selamat) maka saya (Abu HUrairah ra.) adalah orang yang terbebas (dari neraka). (H.R. An Nasai)

7.INDIA ADALAH LEMBAH TERBAIK DI DUNIA.

Dari Ali Ra. berkata bahwa dua lembah yang paling baik dikalangan manusia adalah lembah yanga da di MEKKAH dan lembah yang ada di INDIA ,dimana Nabi Adam as. diturunkan. Didalam lembah itu ada satu bau yang wangi, yang darinya bisa membuat kamu jadi wangi.
Dan dua lembah yang paling buruk dikalangan manusia adalah lembah Ahqaf dan lembah yang ada di Hadramaut bernama Barhut. Dan sumur yang paling baik adalah sumur Zam Zam dan sumur yang paling buruk diantara manusia adalah sumur Balhut. Dan Balhut adalah (nama) seseorang ysng tinggal di Barhut, sedang Barhut adalah tempat akan dikumpulkannya arwah orang-orang kafir. (H.R. Musonif Abdu Razaq)

8.TEMPAT TINGGAL NABI ADAM AS. ADALAH DI INDIA

Dari Ibnu Abbas ra. meriyawatkan dari Nabi saw telah bersabda bahwa Sesungguhnya Nabi Adam as. telah pergi haji dari INDIA ke Baitullah sebanyak seribu kali dengan berjalan kaki tanpa pernah naik kendaraan walau sekalipun.(H.R.Thabrani)

9.SAHABAT NABI SAW. PUN INGIN KHURUJ KE INDIA, KENAPA KITA TIDAK ?

Dari Ubay bin Ka’ab ra. mengatakan: “Saya berkeinginan untuk keluar di jalan Allah ke INDIA”. Ubay bin Ka’ab ra. bertanya kepada Hasan ra.: “Berilah saya nasehat!”. Hasan ra. berkata : “Muliakanlah perinta Allah dimanapun kamu berada maka Allah akan memuliakan kamu”. (H.R. Baihaqi fii Syu’bul iman)

10.BATU HAJAR ASWAD DITURUNKAN DARI SURGA KE INDIA.

127. Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.
128. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah Taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.( S. Al Baqarah : 127 – 128)]
Ibnu Katsir mengatakan (dalam menafsirkan S. Al Baqarah : 127 – 128) : Nabi Ibrahim as. telah berkata :”saya harus meninggikan dasar-dasar baitulah.” Nabi Ismail as pun pergi untuk mencari batu buat diletakkan di Baitullah. Lalu Nabi Ismail as. segera datang kepada Nabi Ibrahim as. dengan membawa sebuah batu, tapi Nabi Ibrahim as. tidak menyukai batu tersebut dan menyuruhnya mencari batu yang lebih baik. Maka Nabi Ismail as pun kembali pergi untuk mencari batu untuknya.
Dan datanglah Jibril as. membawa batu Hajar Aswad dari INDIA yang berwarna sangat putih sekali terbuat dari Batu Yakut Putih persis pohon staghomah (pohon yang daun dan buahnya berwarna putih). Dan Nabi Adam as itu diturunkan bersama-sama dengan Batu Hajar Aswad dari surga . Kemudian (pelan-pelan) Batu Hajar Aswad pun menjadi hitam disebabkan oleh dosa-dosa manusia.
Ketika Nabi Ismail as. datang membawa sebuah batu kepada Nabi Ibrahim as. tiba-tiba dia melihat Batu Hajar Aswad sudah ada di Rukun Yamani. (Dengan heran) Nabi Ismail as. bertanya : “Wahai Bapakku siapakah yang membawanya?”. Nabi Ibrahim as. menjawab : “Yang membawanya adalah seseorang yang lebih cekatan kerjanya dari kamu.” Kemudian mereka berdua membangun Kabbah sambil berdoa dengan kalimat – kalimat yang mana Allah swt. telah uji Nabi Ibrahim as.(Tafsir Ibnu Katsir)

11.PERISTIWA QOBIL DAN HABIL TERJADI DI INDIA.

Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka aku, Mengapa Aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu Aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” Karena itu jadilah dia seorang diantara orang-orang yang menyesal.(S. Al Maidah : 31)
Dari Tafsir Baghwi ( dalam menafsirkan surat Al Maidah : 31) mengatakan:
Dari Muqatil bin Sulaiman ra. telah meriyawatkan dari dhihak, dari Ibnu Abbas r.hum. berkata bahwa Ketika Qobil telah membunuh Habil, Nabi Adam as. berada di Mekkah. Maka tiba – tiba keluar duri dari pohon-pohon serta berubah rasanya, dan buah – buahan menjadi masam, dan air menjadi pahit rasanya. Nabi Adam as. lalu berkata bahwa telah terjadi sesuatu di bumi, kemudian beliau as. datang ke INDIA, ternyata Qobil telah membunuh Habil.
Nabi Adam as. pun mengucapkan syair dan dialah orang yang pertamakali bersyair. Bunyi syairnya :
Telah berubah kota – kota dan apa saja yang ada di atasnya
maka permukaan bumi menjadi berdebu yang kotor
semua zat yang berwrna dan yang mempunyai rasa telah berubah (warna & rasanya)
dan keceriaan wajah yang indah menjadi berkurang…
Keterangan : maka dapat diketahui bahwa Qabil membunuh Habil di tanah INDIA. Jadi kematian yang pertama kali terjadi adalah di INDIA….

13. BERJIHAD DI INDIA

Dari Sauban r.a dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Dua gulongan dari ummatku yang diselamatkan Allah dari Neraka. Iaitu gulongan yang berperang di India dan gulongan yang berkumpul bersama Isa a.s.” (Riwayat Nasai dan Ahmad)
Hadis ini saya ambil dari buku ‘Nuzuulu Isa Ibn maryama Aakhiraz Zaman’. Karangan Imam As-Sauyuthi. Lengkap hadisnya sebagaimana yang dikeluarkan oleh Allamah Ali Al-Qari di dalam kitab Al-Marqaah 5:658 di dalam sebuah hadis yang panjang dari Ali Zainul Abidin bin Husain r.a bahawa Rasulullah saw dalam sabdanya berkata: “bergembiralah ! bergembiralah ! Sesungguhnya perumpamaan ummatku seperti hujan, tiada diketahui yang mana satu lebih baik, yang mulanya atau yang penghabisannya, atau seperti sebuah kebun yang luas , yang dapat memberi makan kepada segulongan manusia buat setahun. Kemudiannya kepada gulongan yang lain buat setahun . Moga-moga gulongan yang terakhir itulah yang akan memperolehi bahagian yang paling banyak, yang paling baik dan yang paling bagus dari kebun itu.Bagaimana boleh binasa sesuatu ummat sedangkan aku yang menjadi pangkalnya , Al-Mahdi pula menjadi pertengahannya dan( Isa ) Al –Masih menjadi penghujungnya. Namun di dalam antara masa-masa itu memang ada masa-masa yang ‘bengkok’. Mereka yang terlibat di dalamnya tidak tergulong sebagai ummatku. Dan aku pun tidak tergulong dari mereka”
Sedikit Huraian
Bila kita lihat terjemahan hadis di atas Syeikh Ahmad Semait , Mufti Singapura menterjemahkan perkataan ‘Jihad’ dengan ‘ berperang’. Namun ulama terkenal Indonesia , H.Salim Bahreisy mengekalkan terjemahannya dengan ‘berjihad’ yang boleh difahami dengan ‘perang’ dan juga ‘dakwah’. Jika dikekalkan ‘Jihad’ dengan perkataan ‘berperang’ sekali pun pasti dan pasti kaedah berperang yang akan dilaksanakan ketika itu adalah mengikut tertib Nabi saw. Iaitu di dahului dengan ‘Dakwah’ (sebagaimana yang pernah kita terangkan di sini ), jika sekiranya ‘dakwah’ tidak diterima maka ‘Jizyah’ perlu dijelaskan. Dan jika ‘jizyah’ tidak diterima maka barulah akan berlaku ‘ Perang’ (Qital ). Maka masih ‘dakwah’ mengambil tempat yang utama.
Sebaliknya jika kita mengunapakai terjemahan ‘berjihad’ dengan diistilahkan sebagai ‘berdakwah’. Maka lengkap hadis itu mungkin begini bunyinya :
Dari Sauban r.a dari Rasulullah saw beliau bersabda : “Dua gulongan ummatku yang diselamatkan oleh Allah dari Neraka, Iaitu gulongan yang ber’Dakwah’ di India dan gulongan yang bersama Isa a.s” (Riwayat Nasai dan Ahmad)
Targhib
Jadi jika jemaah Tabligh membuat ‘tasykil’ (mengajak) berdakwah ke India ,Pakistan dan Bangladesh, maka jangan lansung kita mengatakan tidak berkait dengan hadis atau pun mengatakan taksub dengan India kerana masih ianya bersabit dari hadis Nabi saw. Perlu diingatkan bahawa asal ketiga-tiga negara itu ( India, Pakistan dan Bangladesh ) adalah ‘Benua India’ atau ‘Hind’. Hanya selepas dijajah oleh British barulah dipecahkan menjadi tiga negara

SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLA ANTA ASTAGHFIRUKA WA ATUWBU ILAIKA….

siapa yg pernah ke india dalam perjalanan agama barulah tahu kehebatan amal agama orang al hind (india, pakistan, bangladesh)

sempatkan 4 bulan fii sabilLillah kesana...In syaa Alloh...

Mencintai Sejantan Ali (KaramAllohu wajhahu)

Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!

Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!

‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.


”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..

Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali. Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah. ’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.

”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.” Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu. Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.

Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut. ’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.

’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..” Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”

’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha. Mencintai tak berarti harus memiliki. Mencintai berarti pengorbanan untuk kebahagiaan orang yang kita cintai. Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.

Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak. Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?

”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”

’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.

Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.

”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”

Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti. ’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”

Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian. Dan bagi pencinta sejati, selalu ada yang manis dalam mencecap keduanya.

Di jalan cinta para pejuang, kita belajar untuk bertanggungjawab atas setiap perasaan kita..


Assalamu'alayk zainal anbiya'






Selasa, 26 November 2013

Penipuan Sejarah







Tuluskah???

   بسم الله الرحمن الرحيم
نحمده ونصلى على رسوله الكريم


seakan ingin ku bertanya kepadamu mengenai arti sebuah ketulusan.
namun kuhentikan lidah ini.
karena aku berpikir...
ketulusan adalah bahasa hati.
ia bukan bahasa lisan...
bukan pula isyarat gerak tubuh...
ketulusan bukan untuk dikatakan...
bukan pula untuk dipertanyakan...
ketulusan adalah cahaya hati yg terhubung langsung kepadaNya...
ketulusan adalah saat terjaganya hati kita dari "hal-hal yang merendahkan"
saat terjaga hati ini dari niat selain "karena Nya"

telah sampai perkataanmu...
engkau katakan "tidak ada lagi ketulusan didunia ini"...?
apakah engkau bisa meraba hati ini...?
lalu apakah engkau sendiri benar-benar faham arti ketulusan itu...?
di bagian sisi hidupmu yang mana dapat kutemui ketulusan itu...?
seberapa tangguh kamu akan mampu menjaga nilai ketulusan itu...?

namu aku tidak mau menilai balik "ketulusanmu".
karena bagiku...
menilai ketulusan adalah bukan bagian kita sebagai makhluk yg lemah...
dan aku pun tidak faham bagaimana aku bisa menilai ketulusan hatimu...
karena aku tidak mampu melihat sanubarimu...

hmmmmmmmmmm.............................
bagiku diam adalah jawaban terbaik bagi ketulusan...
saat kita menanyakan ketulusan maka saat itu kita sedang merendahkan nilai ketulusan itu sendiri...
saat kita mengatakan "aku tulus kepadamu" sesungguhnya itu menandakan kita tidak tulus...
dan merusak nilai ketulusan sendiri...

aku lelaki...
aku periksa lagi niat ku...
memang aku mencintaimu karena Alloh...wAllohu a'lam...
aku tidak pernah bisa melihat kelemahan dan keburukanmu...
setiap aku melihatnya...
yang kurasakan hanya pembelaan bahwa semua itu akan menjadi baik nanti...
namun...
yaa sudahlah...
makin aku bicara tulus...makin tidak tulus aku...




dalam diam...
aku telah berjalan pelan-pelan menjauhimu...
hanya berharap semoga Dia akan selalu menjagamu...

bagiku...
akhir dari sebuah ketulusan cinta adalah...
melepaskan yang dicintai...dengan doa dan harapan kebaikan selamanya baginya...

menurutku...
tidak perlu membodohi diri thd kemurahan dariNya...
tidak perlu pula melawan garis takdirNya...
sedang rasa yang pernah ada adalah karuniaNya...

berjalanlah dijalanmu...
akupun akan berjalan dijalan ku...

namun fahamilah...
jangan bermain-main dengan ketulusan...
mungkin tatkala ia telah berlalu karena prasangka...
kamu tidak akan menemui lagi yang sama selamanya...

Be silent, only the hand of God can remove the burdens of your heart.




Senin, 25 November 2013

Aqidah Ahlussunah Wal Jama'ah

 بسم الله الرحمن الرحيم
نحمده ونصلى على رسوله الكريم


AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH: GOLONGAN YANG SELAMAT (al Firqah an-Najiyah)


وإنَّ هذه الملَّةَ ستفترِ  ق علَى ثَلاَث وسبعين ثنتان وسبعونَ فى النارِ وواحدةٌ فى الجَنة وهي ” :r قَالَ ر  سو ُ ل اللهِ

الجَماعُة” (رواه أبوداود)

Maknanya: “…dan sesungguhnya ummat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, 72 di antaranya di neraka dan hanya satu yang di surga yaitu al-Jama’ah”. (H.R. Abu Dawud)
Akal adalah syahid (saksi dan bukti) akan kebenaran syara’. Inilah sebenarnya yang dilakukan oleh ulama tauhid atau ulama al-kalam (teologi). Yang mereka lakukan adalah taufiq (pemaduan) antara kebenaran syara’ dengan kebenaran akal, mengikuti jejak nabi Ibrahim -seperti dikisahkan al-Quran- ketika membantah raja Namrud dan kaumnya, di mana beliau menundukkan mereka dengan dalil akal. Fungsi akal dalam agama adalah sebagai saksi bagi kebenaran syara’ bukan sebagai peletak dasar bagi agama itu sendiri. Berbeda dengan para filosof yang berbicara tentang Allah, malaikat dan banyak hal lainnya yang hanya berdasarkan penalaran akal semata. Mereka menjadikan akal sebagai dasar agama tanpa memandang ajaran yang dibawa para nabi.

Tuduhan kaum Musyabbihah; kaum yang sama sekali tidak memfungsikan akal dalam agama, terhadap Ahlussunnah sebagai ’Aqlaniyyun (kaum yang hanya mengutamakan akal) atau sebagai kaum Mu’tazilah atau Afrakh al-Mu’tazilah (anak bibitan kaum Mu’tazilah) dengan alasan karena lebih mengedepankan akal, adalah tuduhan yang salah alamat. Ini tidak ubahnya seperti seperti kata pepatah arab “Qabihul Kalam Silahulliam” (kata-kata yang jelek adalah senjata para pengecut). Secara singkat namun komprehensif, kita ketengahkan bahasan tentang Ahlissunnah sebagai al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat), asal-usulnya, dasar-dasar ajaran dan sistematikanya.

PEMBAHASAN

Sejarah mencatat bahwa di kalangan umat Islam dari mulai abad-abad permulaan (mulai dari masa khalifah sayyidina Ali ibn Abi Thalib) sampai sekarang terdapat banyak firqah (golongan) dalam masalah aqidah yang faham satu dengan lainnya sangat berbeda bahkan saling bertentangan. Ini fakta yang tak dapat dibantah. Bahkan dengan tegas dan gamblang Rasulullah telah menjelaskan bahwa umatnya akan pecah menjadi 73 golongan. Semua ini tentunya dengan kehendak Allah dengan berbagai hikmah tersendiri, walaupun tidak kita ketahui secara pasti. Dia-lah yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Namun Rasulullah juga telah menjelaskan jalan selamat yang harus kita tempuh agar tidak terjerumus dalam kesesatan. Yaitu dengan mengikuti apa yang diyakini oleh al-Jama’ah; mayoritas umat Islam. Karena Allah telah menjanjikan kepada Rasul-Nya, Muhammad , bahwa umatnya tidak akan tersesat selama mereka berpegang teguh kepada apa yang disepakati oleh kebanyakan mereka. Allah tidak akan menyatukan mereka dalam kesesatan. Kesesatan akan menimpa mereka yang menyempal dan memisahkan diri dari keyakinan mayoritas. Mayoritas umat Muhammad dari dulu sampai sekarang adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Mereka adalah para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam Ushul al-I’tiqad (dasar-dasar aqidah); yaitu Ushul al-Iman al-Sittah (dasar-dasar iman yang enam) yang disabdakan Rasulullah dalam hadits Jibril:

“الإيما ُ ن أنْ تؤمن بِاللهِ وملائكَته و ُ كتبه و  ر  سله واليومِ الآخرِ والقَدرِ خيرِه وش  ره” ( رواه البخارِي ومسلم)

Maknanya: “Iman adalah engkau mempercayai Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab- kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta Qadar (ketentuan Allah); yang baik maupun buruk”.(H.R. al Bukhari dan Muslim)

Perihal al-Jama’ah dan pengertiannya sebagai mayoritas umat Muhammad yang tidak lain adalah Ahlussunnah Wal Jama’ah tersebut dijelaskan oleh Rasulullah dalam sabdanya :

“أوصي ُ كم بِأصحابِي ثمَّ الذين يُلون  هم ثمَّ اّلذين يُلون  هم“، وفيه “عَلي ُ كم بِالجَماعة وإيا ُ كم والُفرقة فإنَّ ال  شيطانَ

مع الواحد و  هو من الاثْنينِ أبع  د فَمن أراد بحبوحة الجَنةَ فلْيلْزمِ الجَماعة”. (رواه الترمذ  ي وقَالَ حسن

صحيح وص  ححه الحَاك  م)

Maknanya: “Aku berwasiat kepada kalian untuk mengikuti sahabat-sahabatku, kemudian –mengikuti– orang-orang yang datang setelah mereka, kemudian mengikuti yang dating setelah mereka“. Dan termasuk rangkaian hadits ini: “Tetaplah bersama al-Jama’ah dan jauhi perpecahan karena syaitan akan menyertai orang yang sendiri. Dia (syaitan) dari dua orang akan lebih jauh, maka barang siapa menginginkan tempat lapang di surga hendaklah ia berpegang teguh pada (keyakinan) al-Jama’ah”. (H.R. at-Turmudzi, ia berkata hadits ini Hasan Shahih juga hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim).

Al-Jama’ah dalam hadits ini tidak boleh diartikan dengan orang yang selalu menjalankan shalat dengan berjama’ah, jama’ah masjid tertentu atau dengan arti ulama hadits, karena tidak sesuai dengan konteks pembicaraan hadits ini sendiri dan bertentangan dengan hadits-hadits lain. Konteks pembicaraan hadits ini jelas mengisyaratkan bahwa yang dimaksud al-Jama’ah adalah mayoritas umat Muhammad dari sisi kuantitas.

Penafsiran ini diperkuat juga oleh hadits yang kita tulis di awal pembahasan. Yaitu hadits riwayat Abu Dawud yang merupakan hadits Shahih Masyhur, diriwayatkan oleh lebih dari 10 orang sahabat. Hadits ini memberi kesaksian akan kebenaran mayoritas umat Muhammad bukan kebenaran firqah-firqah yang menyempal. Jumlah pengikut firqah-firqah yang menyempal ini, dibanding pengikut Ahlussunnah Wal Jama’ah sangatlah sedikit.

Selanjutnya di kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah dikenal istilah “ulama salaf”. Mereka adalah orang-orang yang terbaik dari kalangan Ahlusssunnah Wal Jama’ah yang hidup pada 3 abad pertama hijriyah sebagaimana sabda nabi sholAllohu 'alayhi wasalam:

“خي  ر الُق  رون قَرنِي ثُ  م الذين يُلون  هم ثُ  م الذين يُلون  هم” (رواه الترمذ  ي)

Maknanya: “Sebaik-baik abad adalah abadku kemudian abad setelah mereka kemudian abad setelah mereka”. (H.R. Tirmidzi)
Pada masa ulama salaf ini, di sekitar tahun 260 H, mulai menyebar bid’ah Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah dan lainnya dari kelompok-kelompok yang membuat faham baru. Kemudian dua imam agung; Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324 H) dan Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) –semoga Allah meridlai keduanya– dating dengan menjelaskan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diyakini para sahabat nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al-Quran dan Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij tersebut di atas dan ahli bid’ah lainnya. Sehingga Ahlussunnah dinisbatkan kepada keduanya. Mereka; Ahlussunnah Wal Jamaah akhirnya dikenal dengan nama al-Asy’ariyyun (para pengikut imam Abu al-Hasan Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut imam Abu Manshur al-Maturidi). Hal ini tidak menafikan bahwa mereka adalah satu golongan yaitu al-Jama’ah. Karena sebenarnya jalan yang ditempuh oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu.

Adapun perbedaan yang terjadi di antara keduanya hanya pada sebagian masalah-masalah furu’ (cabang) aqidah. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya saling menghujat atau saling menyesatkan, serta tidak menjadikan keduanya lepas dari ikatan golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah). Perbedaan antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini adalah seperti halnya perselisihan yang terjadi antara para sahabat nabi, perihal apakah Rasulullah melihat Allah pada saat Mi’raj?. Sebagian sahabat, seperti ‘Aisyah dan Ibn Mas’ud mengatakan bahwa Rasulullah r tidak melihat Tuhannya pada waktu Mi’raj. Sedangkan Abdullah ibn ‘Abbas mengatakan bahwa Rasulullah r melihat Allah dengan hatinya. Allah memberi kemampuan melihat kepada hati Nabi Muhammad r sehingga dapat melihat Allah. Namun demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap sepaham dan sehaluan dalam dasar-dasar aqidah. Al-Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) mengatakan:

إذَا أطْلق أهلُ ال  سنة والجَماعة فاُلمرا  د بِهِم الأشاعرُة والمَاترِيديُة

“Jika dikatakan Ahlussunnah wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah “. (al-Ithaf, juz 2 hlm 6)

Jadi aqidah yang benar dan diyakini oleh para ulama salaf yang shalih adalah aqidah yang diyakini oleh al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Karena sebenarnya keduanya hanyalah meringkas dan menjelaskan aqidah yang diyakini oleh para nabi dan rasul serta para sahabat. Aqidah Ahlusssunnah adalah aqidah yang diyakini oleh ratusan juta umat Islam, mereka adalah para pengikut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, serta orang-orang yang utama dari madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah). Aqidah ini diajarkan di pesantren-pesantren Ahlussunnah di negara kita, Indonesia. Dan al-Hamdulillah, aqidah ini juga diyakini oleh ratusan juta kaum muslimin di seluruh dunia seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, India, Pakistan, Mesir (terutama al-Azhar), negara-negara Syam (Syiria, Yordania, Lebanon dan Palestina), Maroko, Yaman, Irak, Turki, Daghistan, Checnya, Afghanistan dan masih banyak lagi di negara-negara lainnya. Maka wajib bagi kita untuk senantiasa penuh perhatian dan keseriusan dalam mendalami aqidah al- Firqah al-Najiyah yang merupakan aqidah golongan mayoritas.

Karena ilmu aqidah adalah ilmu yang paling mulia, sebab ia menjelaskan pokok atau dasar agama. Abu Hanifah menamakan ilmu ini dengan al-Fiqh al-Akbar. Karenanya, mempelajari ilmu ini harus lebih didahulukan dari mempelajari ilmuilmu lainnya. Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu yang lain. Inilah metode yang diikuti para sahabat nabi dan ulama rabbaniyyun dari kalangan salaf maupun khalaf dalam mempelajari agama ini. Tradisi semacam ini sudah ada dari masa Rasulullah, sebagaimana dikatakan sahabat Ibn ‘Umar dan sahabat Jundub:

“كُنا ونح  ن فتيانٌ حزاوِرةٌ مع ر  سولِ اللهِ صلَّى اللهُ علَيه وسّلم تعّلمنا الإيمانَ ولَم نتعلّمِ القرءَانَ ثُ  م تعلَّمنا

الُقرءَانَ فَا  زددنا بِه إيمانا” (رواه ابن ماجه وصححه الحافظ البوصيرِ  ي)

Maknanya: “Kami -selagi remaja saat mendekati baligh- bersama Rasulullah sholAllohu 'alayhi wasalam mempelajari iman (tauhid) dan belum mepelajari al-Qur’an. Kemudian kami mempelajari al-Qur’an maka bertambahlah keimanan kami”. (H.R. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hafidz al-Bushiri).

Ilmu aqidah juga disebut dengan ilmu kalam. Hal tersebut dikarenakan banyaknya golongan yang mengatas namakan Islam justru menentang aqidah Islam yang benar dan banyaknya kalam (adu argumentasi) dari setiap golongan untuk membela aqidah mereka yang sesat.

Tidak semua ilmu kalam itu tercela, sebagaimana dikatakan oleh golongan Musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Akan tetapi ilmu kalam terbagi menjadi dua bagian: ilmu kalam yang terpuji dan ilmu kalam yang tercela. Ilmu kalam yang kedua inilah yang menyalahi aqidah Islam karena sengaja dikarang dan ditekuni oleh golongan-golongan yang sesat seperti Mu’tazilah, Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, sepeti kaum Wahabiyyah) dan ahli bid’ah lainnya. Adapun ilmu kalam yang terpuji ialah ilmu kalam yang dipelajari oleh Ahlussunah untuk membantah golongan yang sesat. Dikatakan terpuji karena pada hakekatnya ilmu kalam Ahlussunnah adalah taqrir dan penyajian prinsip-prinsip aqidah dalam formatnya yang sistematis dan argumentatif; dilengkapi dengan dalil-dalil naqli dan aqli.

Dasar-dasar ilmu kalam ini telah ada di kalangan para sahabat. Di antaranya, sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib dengan argumentasinya yang kuat dapat mengalahkan golongan Khawarij, Mu’tazilah juga dapat membantah empat puluh orang yahudi yang meyakini bahwa Allah adalah jism (benda). Demikian pula sahabat ‘Abdullah ibn Abbas, al-Hasan ibn ‘Ali ibn Abi Thalib dan ‘Abdullah ibn Umar juga membantah kaum Mu’tazilah. Sementara dari kalangan tabi’in; imam al-Hasan al-Bashri, imam al-Hasan ibn Muhamad ibn al-Hanafiyyah; cucu sayyidina Ali ibn Abi Thalib dan khalifah Umar ibn Abdul Aziz juga pernah membantah kaum Mu’tazilah. Kemudian juga para imam dari empat madzhab; imam Syafi’i, imam Malik, imam Abu Hanifah, dan imam Ahmad juga menekuni dan menguasai ilmu kalam ini. Sebagaimana dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi (W 429 H) dalam kitab Ushul ad-Din, al-Hafizh Abu al-Qasim ibn ‘Asakir (W 571 H) dalam kitabTabyin Kadzib al Muftari, al-Imam az-Zarkasyi (W 794 H) dalam kitab Tasynif al- Masami’ dan al ‘Allamah al Bayyadli (W 1098 H) dalam kitab Isyarat al-Maram dan lain-lain.

Allah berfirman:

( (فَاعلَم أنه لاَ إله إلاَّ اللهُ واست غفر لذَنبِك) (مح  مد: 19

Maknanya: “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah dan mohonlah ampun atas dosamu”. (Q.S. Muhammad :19)

Ayat ini dengan sangat jelas mengisyaratkan keutamaan ilmu ushul atau tauhid. Yaitu dengan menyebut kalimah tauhid (la ilaha illallah) lebih dahulu dari pada perintah untuk beristighfar yang merupakan furu’ (cabang) agama. Ketika Rasulullah sholAllohu 'alayhi wasalam ditanya tentang sebaik-baiknya perbuatan, beliau menjawab:

“إيمانٌ بِاللهِ ور  سوله” (رواه البخارِ  ي)

Maknanya: “Iman kepada Allah dan rasul-Nya”. (H.R. Bukhari)

Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah sholAllohu 'alayhi wasalam mengkhususkan dirinya sebagai orang
yang paling mengerti dan faham ilmu tauhid, beliau sholAllohu 'alayhi wasalam bersabda:

“أنا أعلَ  م ُ كم بِاللهِ وأخشا ُ كم لَه” (رواه البخارِ  ي)

Maknanya: “Akulah yang paling mengerti di antara kalian tentang Allah dan paling takut kepada-Nya”. (H.R. Bukhari)
Karena itu, sangat banyak ulama yang menulis kitab-kitab khusus mengenai penjelasan aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah ini. Seperti Risalah al-’Aqidah ath- Thahawiyyah karya al-Imam as-Salafi Abu Ja’far ath-Thahawi (W 321 H), kitab al‘Aqidah an-Nasafiyyah karangan al Imam ‘Umar an-Nasafi (W 537 H), al-‘Aqidah al-Mursyidah karangan al-Imam Fakhr ad-Din ibn ‘Asakir (W 630 H), al ‘Aqidah ash-Shalahiyyah yang ditulis oleh al-Imam Muhammad ibn Hibatillah al-Makki (W 599H); beliau menamakannya Hadaiq al-Fushul wa Jawahir al Uqul, kemudianmenghadiahkan karyanya ini kepada sultan Shalahuddin al-Ayyubi (W 589 H).Tentang risalah aqidah yang terakhir disebutkan, sultan Shalahuddin sangat tertarik dengannya hingga beliau memerintahkan untuk diajarkan sampai kepada anakanak kecil di madrasah-madrasah, yang akhirnya risalah aqidah tersebut dikenal dengan nama al ‘Aqidah ash-Shalahiyyah. Sulthan Shalahuddin adalah seorang ‘alim yang bermadzhab Syafi’i, mempunyai perhatian khusus dalam menyebarkan al ‘Aqidah as-Sunniyyah. Beliau memerintahkan para muadzdzin untuk mengumandangkan al ‘Aqidah as-Sunniyyah di waktu tasbih (sebelum adzan shubuh) pada setiap malam di Mesir, seluruh negara Syam (Syiria, Yordania, Palestina dan Lebanon), Mekkah, Madinah, dan Yaman sebagaimana dikemukakan oleh al Hafizh as-Suyuthi (W 911 H) dalam al Wasa-il ila Musamarah al Awa-il dan lainnya. Sebagaimana banyak terdapat buku-buku yang telah dikarang dalam menjelaskan al ‘Aqidah as-Sunniyyah dan senantiasa penulisan itu terus berlangsung.

Kita memohon kepada Allah semoga kita meninggal dunia dengan membawa aqidah Ahlissunah Wal Jamaah yang merupakan aqidah para nabi dan rasul Allah. Amin.

KOMENTAR PARA ULAMA TENTANG AQIDAH ASY’ARIYYAH; AQIDAH AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH

As-Subki dalam Thabaqatnya berkata: “Ketahuilah bahwa Abu al-Hasan al-Asy’ari tidak membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya menegaskan kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran sahabat Rasulullah. Penisbatan nama kepadanya karena beliau konsisten dalam berpegang teguh ajaran salaf, hujjah (argumentasi) yang beliau pakai sebagai landasan kebenaran aqidahnya juga tidak keluar dari apa yang menjadi hujjah para pendahulunya, karenanya para pengikutnya kemudian disebut Asy’ariyyah. Abu al-Hasan al-Asy’ari bukanlah ulama yang pertama kali berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama’ah, ulama-ulama sebelumya juga banyak berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama’ah. Beliau hanya lebih memperkuat ajaran salaf itu dengan argumen-argumen yang kuat. Bukankah penduduk kota Madinah banyak dinisbatkan kepada Imam Malik, dan pengikutnya disebut al Maliki. Ini bukan berarti Imam Malik membawa ajaran baru yang sama sekali tidak ada pada para ulama sebelumnya, melainkan karena Imam Malik menjelaskan ajaran-ajaran lama dengan penjelasan yang lebih rinci dan sistematis..demikian juga yang dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari”.

Habib Abdullah ibn Alawi al-Haddad menegaskan bahwa “kelompok yang benar adalah kelompok Asy’ariyah yang dinisbatkan kepada Imam Asy’ari. Aqidahnya juga aqidah para sahabat dan tabi’in, aqidah ahlul haqq dalam setiap masa dan tempat, aqidahnya juga menjadi aqidah kaum sufi sejati. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Imam Abul Qasim al-Qusyayri. Dan alhamdulillah aqidahnya juga menjadi aqidah kami dan saudara-saudara kami dari kalangan habaib yang dikenal dengan keluarga Abu Alawi, juga aqidah para pendahulu kita. Kemudian beliau melantunkan satu bait sya’ir:

وكن أشعريا في اعتقادك إنه هو المنهل الصافي عن الزيغ والكفر

“Jadilah pengikut al Asy’ari dalam aqidahmu, karena ajarannya adalah sumber yang bersih dari kesesatan dan kekufuran“.

Ibnu ‘Abidin al Hanafi mengatakan dalam Hasyiyah Radd al Muhtar ‘ala ad-Durr al Mukhtar : “Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah al Asya’irah dan al Maturidiyyah“. Dalam kitab ‘Uqud al Almas al Habib Abdullah Alaydrus al Akbar mengatakan :

“Aqidahku adalah aqidah Asy’ariyyah Hasyimiyyah Syar’iyyah sebagaimana aqidah para ulama madzhab syafi’i dan Kaum Ahlussunnah Shufiyyah”.

Bahkan jauh sebelum mereka ini Al Imam al ‘Izz ibn Abd as-Salam mengemukakan bahwa aqidah al Asy’ariyyah disepakati oleh kalangan pengikut madzhab Syafi’i, madzhab Maliki, madzhab Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali (Fudlala al Hanabilah). Apa yang dikemukakan oleh al ‘Izz ibn Abd as-Salam ini disetujui oleh para ulama di masanya, seperti Abu ‘Amr Ibn al Hajib (pimpinan ulama Madzhab Maliki di masanya), Jamaluddin al Hushayri pimpinan ulama Madzhab Hanafi di masanya, juga disetujui oleh al Imam at-Taqiyy as-Subki sebagaimana dinukil oleh putranya Tajuddin as-Subki.

GARIS BESAR AQIDAH ASY’ARIYYAH

Secara garis besar aqidah asy’ari yang juga merupakan aqidah ahlussunnah wal jama’ah adalah meyakini bahwa Allah ta’ala maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, Allah bukanlah benda yang bisa digambarkan juga bukan benda yang berbentuk dan berukuran. Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya (laysa kamitslihi syai’). Allah ada dan tidak ada permulaan atau penghabisan bagi ada-Nya, Allah maha kuasa dan tidak ada yang melemahkan-Nya, serta Ia tidak diliputi arah. Ia ada sebelum menciptakan tempat tanpa tempat, Iapun ada setelah menciptakan tempat tanpa tempat. tidak boleh ditanyakan tentangnya kapan, dimana dan bagaimana ada-Nya. Ia ada tanpa terikat oleh masa dan tempat. Maha suci Allah dari bentuk (batasan), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar dan anggota badan yang kecil. Ia tidak diliputi satu arah atau enam arah penjuru. Ia tidak seperti makhluk-Nya. Allah maha suci dari duduk, bersentuhan, bersemayam, menyatu dengan makhluk-Nya, berpindah-pindah dan sifat-sifat makhluk lainnya.

Ia tidak terjangkau oleh fikiran dan Ia tidak terbayang dalam ingatan, karena apapun yang terbayang dalam benakmu maka Allah tidak seperti itu. Ia maha hidup, maha mengetahui, maha kuasa, maha mendengar dan maha melihat. Ia berbicara dengan kalam-Nya yang azali sebagaimana sifat-sifat-Nya yang lain juga azali, karena Allah berbeda dengan semua makhluk-Nya dalam dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Barang siapa menyifati Allah dengan sifat makhluknya sungguh ia telah kafir.

Allah yang telah menciptakan makhluk dan perbuatan-perbuatan-Nya, Ia juga yang mengatur rizki dan ajal mereka. Tidak ada yang bisa menolak ketentuan-Nya dan tidak ada yang bisa menghalangi pemberian-Nya. Ia berbuat dalam kerajaan-Nya ini apa yang Ia kehendaki. Ia tidak ditanya perihal perbuatan-Nya melainkan hamba-Nyalah yang akan diminta pertanggungjawaban atas segala perbuatan-Nya. Apa yang Ia kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Ia kehendaki tidak akan terjadi. Ia disifati dengan kesempurnaan yang pantas bagi-Nya dan Ia maha suci dari segala bentuk kekurangan. Nabi Muhammad adalah penutup para nabi dan penghulu para rasul. Ia diutus Allah ke muka bumi ini untuk semua penduduk bumi, jin maupun manusia. Ia jujur dalam setiap apa yang disampaikannya. []

Tidak Semua Yang Baru Itu Sesat Pemberian titik dan syakal pada mushaf itu tidak ada pada masa Rasul dan Rasul tidak pernah memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk melakukan itu, tapi sampai saat ini tidak ada yang berani mengatakan itu sesat dan yang sesat masuk neraka. Demikian juga adzan kedua pada hari jum’at yang dirintis pertama kali oleh sahabat Utsman ibn Affan karena melihat umat Islam sudah semakin banyak. Pada masa Rasul, Abu Bakar dan Umar adzan pada hari jum’at hanya dilakukan sekali ketika khatib naik mimbar, kemudian pada masa Utsman adzan ditambah sebelum khatib naik mimbar. Adzan yang pertama ditujukan untuk memperingatkan umat bahwa waktu dzuhur sudah masuk dan bersegera untuk meninggalkan aktifitas duniawinya dan datang ke masjid. Apakah kemudian Utsman disebut ahli bid’ah?! Bukankah Rasulullah telah memberikan keleluasan (rukhshah) kepada umatnya untuk berinovasi dalam hal kebaikan?! dalam haditsnya Rasul bersabda: “Barang siapa merintis perkara baru yang baik dalam Islam maka ia mendapatkan pahala dari upayanya serta pahala orang yang menjalankannya” .

Seiring dengan perkembangan zaman tentu kebutuhan umat manusia semakin banyak lebih banyak dari masa Rasul dan sahabat, tidak ada salahnya kalau kita memanfaatkan fasilitas-fasilitas teknologi yang telah tercipta itu untuk mempermudah kepentingan kita beribadah kepada Allah. Karena tidak semua yang baru itu salah dan menyesatkan.

Semoga Alloh jaga aqidah semua umat islam dlm aqidah yg benar...Aaaamiin

Sabtu, 23 November 2013

Hujan Di Malam Ini

Bismillah...jam 00.28 malam...terjebak dikantor...karena hujan yg amat lebat mengguyur palembang malam ini...
kebetulan...bi idznIllah hari ini naik motor dinas...
padahal bulan ini sering hujan...harusnya pake mobil...tp apa daya...mobil lagi di bengkel buat klaim...

sedikit merenung...
belajar dari hujan malam ini...

memang kita adalah manusia...
tatkala datang kehendak Alloh yg tidak sesuai dgn maunya kita...

kita...TIDAK BISA BERBUAT APA2...
mau hentikan hujan???sy belum sesakti itu...hehehe
mau menerobos hujan???waduh bisa basah semua dokumen di tas...hp juga bisa rusak...yg jelas dk baek buat kesehatan...

yang bisa dibuat hanyalah...duduk manis...
tunggu...
akan ada saatnya reda...

lalu saya berpikir...
dalam hidup kita sering menemui keadaan yg tidak sesuai kemauan kita...
well...
manusia boleh...bahkan disuruh berikhtiar buat kebaikan hidupnya...
namun ada kalanya keadaan yg buatNya tak kunjung berubah...
sedang keadaan tersebut dak sesuai dgn kemauan kita...

hmmm...
tunggulah...senyumlah manis kpdNya (walaw mugkin berat)
semoga senyum kita adalah sebagai cap ridhonya hati kita dengan jalanNya...

SUATU SAAT HUJAN ITU AKAN REDA...
JALAN AKAN SEJUK DAN TERBUKA LEBAR...
BERJALANLAH...

Jumat, 22 November 2013

Cinta


بسم الله الرحمن الرحيم
نحمده ونصلى على رسوله الكريم

Cinta yang sesungguhnya hanya milik Yang maha pengasih
Dia fahamkan arti cinta tersebut kepada rasulNya yang mulia
Dia ilhamkan cinta tersebut kepada kepada orang tua tk cinta kpd anak2nya

Bagaimana mendekatnya Allah kepada seseorang yang mendekatiNya,
Dia lebih cepat, lebih kuat n lebih mendekat dri usaha orang tsb...
Bagaimana bahagianya Allah ketika HambaNya yg pendosa meminta maaf kepadaNya...
Bukankah Ia menyuruh malaikat pencatat dosa menangguhkan pencatatan,
Ia menunggu permohonan ampun dr hamba tersebut samapai nafas terakhir...
Ingatkah km pertanyaan Rasul saw kpd pr sahabat ttg seseorg yang menemukan istrinya berselingkuh,
bukankah saad bin ubadah ra menghunus pedang dgn mengatakan aku akan penggal mereka,
Namun beliau saw menjawab Allah lebih cemburu bila di hati hambaNya ada selainNya....
Dia bahkan rela melupakan semua kedurhakaan seumur hidup hamba krn setetes air mata tobat seorang hamba, bahkan Jahanam kan dipadamkaNya krn cinta dgn tetesan tsb...
Oh Allah inilah cinta yg sebenarNya...Maafkan km Ya Allah

Ingatkah km perkataan ini "aku hanya berharap dr keturunan mereka lahir orang2 beriman" tlg katakan siapa yang berkata ini??? n dlm kondisi apa???
ini perkataan Muhammad sholAllohu 'alayhi wasalam tatkala di hina kemudian di usir kemudian dilempari batu sejauh 13 mil perjalanannya...lalu malaikat menawarkan diri tuk mengadzab penduduk kota tersebut...inilah jawabanya...

Siapa pula yang berkata "Ya Allah ampuni umatku mereka tidak tahu" pada hal besi menancap di wajahnya yg mulia, giginya pun rontok, nyawanya pun di ujung tanduk...kalian bacalah kisah perang tabuk...

"kalau begini sakitnya maut...timpakan saja maut umat ku kpd ku" wahai perkataan siapa ini...ketika sedang ada beliau berkata spt ini????
ini adalah perkataan Muhammad sholAllohu 'alayhi wasalam ketika naza'nya...Allohhhhhh

Tahukah km beliau akan mencampakan dirinya kdalam jahanman ketika beliau melihat manusia berjatuhan kdlm jahanam dihari kemudian,hanya saja Yang maha agung bkhendak itu tdk terjdi...

Kapan beliau menyentuh nikmat syurga???setelah habis tangisan n kepedihannya...setelah dia tau semua telah mndapat tmpt di syurga...
kepedihan sejak didunia..hingga di akhirat...

ingatkah tangisan beliau bersama jibril ketika beliau bangkit pada hari kiamat???apa yg ditanyakan...
Bagaimana umatku ya Jibril????
Ya RasulAllah Shalawat n salam semoga Allah curahkan kpd mu n ahli serta sahabatmu n pengikut setiamu hinng akhir zaman...lebih dr hembusan nafas n kedipan mata...

Ibu n Ayah...ridho n murka mereka mnyertai nasibmu...
Siapa yang bersihkan kotoranmu sewaktu kecil...
Anak anak selamat semua kebahagiaan seperti telah menjadi milik mereka...
shg uwais la qarni tak sempat jumpa fisik dgn nabi saw,krn berkhidmat pd ibunya...
wahai alangkah tinggi hak mereka...
hanya saja...setulus2 cinta mereka tetap ada setitik pamrih di lubuk hati merka...
karena mereka makhluk dhoif seperti km juga...
mereka bukan Yang maha pengasih n guru para pengasih (rasul)...

Lalu?...dimana derajat cintamu???
yang kamu katakan suci bersih...
malulah kita...
kita banyak salah meletakkan cinta...bahkan kita mengotori arti cinta...

Allohumma inna nas alukal hubbak wa hubba mayyu hibbuk wa hubba 'amalin yuqorribu ila hubbik

Ya Alloh karuniakan kami kecintaan kepdamu
karuniakan kami kecintaan kepada sesuatu yg mencintaimu
karuniakan kami kecintaan kepada amalan yg mendekatkan kpd rasa cinta kepadamu









Nur Muhammad SholAllohu 'alayhi wasalam

 بسم الله الرحمن الرحيم
  نحمده ونصلى على رسوله الكريم





Nur Muhammad Menurut Al-qur’an & Hadits 

Adapaun mengenai konsep nur muhammad dijelaskan sebagai berikut :

A. Ayat-ayat Al-qur’an dalil tawassul dan Nur Muhammad
 
1. Dalam surat an-Nisa’ ayat 64, Allah swt. berfirman: 

“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu (Muhammad saw.) lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasul (Muhammad saw.) pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
 
2. Dalam surat  Al-Maidah ayat 35:

‘Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan carilah washilah….”
Keterangan :
Ibnu Taimiyyah disalah satu kitabnya Qa’idah Jalilah Fit-Tawassul Wal-Washilah dalam pembicaraannya mengenai tafsir ayat Al-Qur’an Al-Maidah: 35 menulis: ‘Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dan carilah washilah….’ antara lain mengatakan:
“Mencari washilah atau bertawassul untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. hanya dapat dilakukan oleh orang yang beriman kepada Muhammad Rasulallah saw. dan mengikuti tuntunan agamanya. Tawassul dengan beriman dan taat kepada beliau saw. adalah wajib bagi setiap orang, lahir dan bathin, baik dikala beliau masih hidup maupun setelah wafat, baik langsung dihadapan beliau sendiri atau pun tidak. Bagi setiap muslim, tawassul dengan iman dan taat kepada Rasulallah saw. adalah suatu hal yang tidak mungkin dapat ditinggalkan. Untuk memperoleh keridhoan Allah dan keselamatan dari murka-Nya tidak ada jalan lain kecuali tawassul dengan beriman dan taat kepada Rasul-Nya. Sebab, beliaulah penolong (Syafi’) ummat manusia.
Beliau saw. adalah makhluk Allah termulia yang dihormati dan diagungkan oleh manusia-manusia terdahulu maupun generasi-generasi berikutnya hingga hari kiamat kelak. Diantara para Nabi dan Rasul yang menjadi penolong ummatnya masing-masing. Muhammad Rasulallah saw. adalah penolong (Syafi’) yang paling besar dan tinggi nilainya dan paling mulia dalam pandangan Allah swt. Mengenai Nabi Musa as. Allah swt. berfirman, bahwa Ia mulia disisi Allah. Mengenai Nabi Isa a.s. Allah swt. juga berfirman bahwa Ia mulia didunia dan diakhirat, namun dalam firman-firman-Nya yang lain menegaskan bahwa Muhammad Rasulallah saw. lebih mulia dari semua Nabi dan Rasul. Syafa’at dan do’a beliau pada hari kiamat hanya bermanfaat bagi orang yang bertawassul dengan iman dan taat kepada beliau saw. Demikianlah pandangan Ibnu Taimiyyah mengenai tawassul.
Dalam kitabnya Al-Fatawil-Kubra I :140 Ibnu Taimiyyah menjawab atas pertanyaan: Apakah tawassul dengan Nabi Muhammad saw. diperbolehkan atau tidak? Ia menjawab: “Alhamdulillah mengenai tawassul dengan mengimani, mencintai, mentaati Rasulallah saw. dan lain sebagainya adalah amal perbuatan orang yang bersangkutan itu sendiri, sebagaimana yang di perintahkan Allah kepada segenap manusia. Tawassul sedemikian itu di- benarkan oleh syara’ dan dalam hal itu seluruh kaum muslimin sepen- dapat.”
 
3. Dalam Surat Al-Baqarah :37, mengenai Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah saw.



فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ اَنَّهُ هُوَا الـَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha Penyayang ”.
Keterangan :
Tawassul Nabi Adam as. pada Rasulallah saw..  Sebagaimana disebutkan pada firman Allah swt. (Al-Baqarah :37) diatas. Menurut ahli tafsir kalimat-kalimat dari Allah yang diajarkan kepada Nabi Adam as. pada ayat diatas agar taubat Nabi Adam as. diterima ialah dengan menyebut dalam kalimat taubatnya bi-haqqi (demi kebenaran) Nabi Muhammad saw. dan keluarganya. Makna seperti ini bisa kita rujuk pada kitab: Manaqib Ali bin Abi Thalib,  oleh Al-Maghazili As-Syafi’i halaman 63, hadits ke 89; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusui Al-Hanafi, halaman 97 dan 239 pada  cet.Istanbul,. halaman 111, 112, 283 pada cet. Al-Haidariyah; Muntakhab Kanzul ‘Ummal, oleh Al-Muntaqi, Al-Hindi (catatan pinggir) Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 419; Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i, jilid 1 halaman 60; Al-Ghadir, oleh Al-Amini, jilid 7, halaman 300 dan Ihqagul Haqq, At-Tastari jilid 3 halaman 76. Begitu juga pendapat Imam Jalaluddin Al-Suyuthi waktu menjelaskan makna surat Al-Baqarah :37 dan meriwayatkan hadits tentang taubatnya nabi Adam as. dengan tawassul pada Rasulallah saw.
Nabi Adam as. ,manusia pertama, sudah diajarkan oleh Allah swt. agar taubatnya bisa diterima dengan bertawassul pada Habibullah Nabi Muhammad saw., yang mana beliau belum dilahirkan di alam wujud ini. Untuk mengkompliti makna ayat diatas tentang tawassulnya Nabi Adam as. ini, kami akan kutip berikut ini beberapa hadits Nabi saw. yang berkaitan dengan masalah itu:
Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak/Mustadrak Shahihain jilid 11/651 mengetengahkan hadits yang berasal dari Umar Ibnul Khattab ra. (diriwayat- kan secara berangkai oleh Abu Sa’id ‘Amr bin Muhammad bin Manshur Al-‘Adl, Abul Hasan Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim Al-Handzaly, Abul Harits Abdullah bin Muslim Al-Fihri, Ismail bin Maslamah, Abdurrahman bin Zain bin Aslam dan datuknya) sebagai berikut, Rasulallah saw.bersabda:


قَالَ رَسُوْلُ الله.صَ. : لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمَُ الخَطِيْئَةَ قَالَ: يَا رَبِّ أسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِي,
فَقالَ اللهُ يَا آدَمُ, وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أخْلَقُهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ ِلأنَّـكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيدِكَ
وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأسِي فَرَأيـْتُ عَلَى القَوَائِمِ العَرْشِ مَكْتُـوْبًا:لإاِلَهِ إلاالله
مُحَمَّدَُ رَسُـولُ اللهِ, فَعَلِمْتُ أنَّكَ لَمْ تُضِفْ إلَى إسْمِكَ إلا أحَبَّ الخَلْقِ إلَيْكَ, فَقَالَ اللهُ
صَدَقْتَ يَا آدَمُ إنَّهُ َلاَحَبَّ الخَلْقِ إلَيَّ اُدْعُنِي بِحَقِّهِ فَقـَدْ غَفَرْتُ لَكَ, وَلَوْ لاَمُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ.

“Setelah Adam berbuat dosa ia berkata kepada Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, demi kebenaran Muhammad aku mohon ampunan-Mu’. Allah bertanya (sebenarnya Allah itu maha mengetahui semua lubuk hati manusia, Dia bertanya ini agar Malaikat dan makhluk lainnya yang belum tahu bisa mendengar jawaban Nabi Adam as.): ‘Bagaimana engkau mengenal Muhammad, padahal ia belum kuciptakan?!’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menciptakan aku dan meniupkan ruh kedalam jasadku, aku angkat kepalaku. Kulihat pada tiang-tiang ‘Arsy termaktub tulisan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak saat itu aku mengetahui bahwa disamping nama-Mu, selalu terdapat nama makhluk yang paling Engkau cintai’. Allah menegaskan: ‘Hai Adam, engkau benar, ia memang makhluk yang paling Kucintai. Berdo’alah kepada-Ku bihaqqihi (demi kebenarannya), engkau pasti Aku ampuni. Kalau bukan karena Muhammad engkau tidak Aku ciptakan’ “.
Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Hafidz As-Suyuthi dan dibenarkan olehnya dalam Khasha’ishun Nabawiyyah dikemukakan oleh Al-Baihaqi didalam Dala ’ilun Nubuwwah, diperkuat kebenarannya oleh Al-Qisthilani dan Az-Zarqani di dalam Al-Mawahibul Laduniyyah jilid 11/62, disebutkan oleh As-Sabki di dalam Syifa’us Saqam, Al-Hafidz Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh At-Thabarani dalam Al-Ausath dan oleh orang lain yang tidak dikenal dalam Majma’uz Zawa’id jilid V111/253.
Sedangkan hadits yang serupa/senada diatas yang sumbernya berasal dari Ibnu Abbas hanya pada nash hadits tersebut ada sedikit perbedaan yaitu dengan tambahan:

وَلَوْلآ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُ آدَمَ وَلآ الجَنَّةَ وَلآ النَّـارَ

‘Kalau bukan karena Muhammad Aku (Allah) tidak menciptakan Adam, tidak menciptakan surga dan neraka’.
Mengenai kedudukan hadits diatas para ulama berbeda pendapat. Ada yang menshohihkannya, ada yang menolak kebenaran para perawi yang meriwayatkannya, ada yang memandangnya sebagai hadits maudhu’, seperti Adz-Dzahabi dan lain-lain, ada yang menilainya sebagai hadits dha’if dan ada pula yang menganggapnya tidak dapat dipercaya. Jadi, tidak semua ulama sepakat mengenai kedudukan hadits itu. Akan tetapi Ibnu Taimiyah sendiri untuk persoalan hadits tersebut beliau menyebutkan dua hadits lagi yang olehnya dijadikan dalil. Yang pertama yaitu diriwayatkan oleh Abul Faraj Ibnul Jauzi dengan sanad Maisarah yang mengatakan sebagai berikut :

قُلْتُ يَا رَسُوْلُ اللهِ, مَتَى كُنْتَ نَبِيَّا ؟ قَالَ: لَمَّا خَلَقَ اللهُ الأرْضَ وَاسْتَوَى إلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَما وَا تٍ,
وَ خَلَقَ العَرْشَ كَتـَبَ عَلَى سَـاقِ العَـرْشِ مُحَمَّتدٌ رَسُوْلُ اللهِ  خَاتَمُ الأَنْبِـيَاءِ , وَ خَلَقَ اللهُ الجَنَّـةَ الَّتِي أسْكَـنَهَا
آدَمَ وَ حَوَّاءَ فَكـُتِبَ إسْمِي عَلَى الأبْـوَابِ وَالأوْرَاقِ وَالقـِبَابِ وَ الخِيَامِ وَ آدَمُ بَيْـنَ الرَُوْحِ وَ الجَسَدِ,فَلَـمَّا أحْيَاهُ اللهُ
 تَعَالَى نَظَرَ إلَى العَـرْشِ , فَرَأى إسْمِي فَأخْبَرَهُ الله أنَّهُ سَيِّدُ وَلَدِكَ, فَلَمَّا غَرَّهُمَا الشَّيْطَانُ  تَابَا وَاسْتَشْفَعَا بِإسْمِي عَلَيْهِ

“Aku pernah bertanya pada Rasulallah saw.: ‘Ya Rasulallah kapankah anda mulai menjadi Nabi?’ Beliau menjawab: ‘Setelah Allah menciptakan tujuh petala langit, kemudian menciptakan ‘Arsy yang tiangnya termaktub Muham- mad Rasulallah khatamul anbiya (Muhammad pesuruh Allah terakhir para Nabi), Allah lalu menciptakan surga tempat kediaman Adam dan Hawa, kemudian menuliskan namaku pada pintu-pintunya, dedaunannya, kubah-kubahnya dan khemah-khemahnya. Ketika itu Adam masih dalam keadaan antara ruh dan jasad. Setelah Allah swt .menghidupkannya, ia memandang ke ‘Arsy dan melihat namaku. Allah kemudian memberitahu padanya bahwa dia (yang bernama Muhammad itu) anak keturunanmu yang termulia. Setelah keduanya (Adam dan Hawa) terkena bujukan setan mereka ber- taubat kepada Allah dengan minta syafa’at pada namaku’ ”.
Sedangkan hadits yang kedua berasal dari Umar Ibnul Khattab (diriwayatkan secara berangkai oleh Abu Nu’aim Al-Hafidz dalam Dala’ilun Nubuwwah oleh Syaikh Abul Faraj, oleh Sulaiman bin Ahmad, oleh Ahmad bin Rasyid, oleh Ahmad bin Said Al-Fihri, oleh Abdullah bin Ismail Al-Madani, oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan ayahnya) yang mengatakan bahwa Nabi saw. berrsabda:

لَمَّا أصَابَ آدَمَ الخَطِيْئَةُ, رَفَعَ رَأسَهُ فَقَالَ: يَا رَبِّ بَحَقِّ مُحَمَّدٍ إلاَّ غَفَرْتَ لِي, فَأوْحَى إلَيْهِ, وَمَا مُحَمَّدٌ ؟
وَمَنْ مُحَمَّدٌ ؟ فَقَالَ: : يَا رَبِّ إنَّكَ لَمَّا أتْمَمْتَ خَلْقِي وَرَفَعْتُ رَأسِي إلَى عَرْشِكَ فَإذَا عَلَيْهِ مَكْتُوْبٌ
لإلَهِ إلااللهُ مُحَمَّدٌ رَسُـولُ اللهِ فَعَلِمْتُ أنَّهُ أكْرَمُ خَلْقِـكَ عَلَيْكَ إذْ قَرََرَنْتَ إسْمُهُ مَعَ اسْمِكَ فَقَالَ, نَعَمْ, قَدْ غَفَرْتُ لَكَ ,
وَهُوَ آخِرُ الأنْبِيَاءِمِنْ ذُرِّيَّتِكَ, وَلَوْلاَهُ مَا خَلَقْتُكَ

“Setelah Adam berbuat kesalahan ia mengangkat kepalanya seraya berdo’a: ‘Ya Tuhanku, demi hak/kebenaran Muhammad niscaya Engkau berkenan mengampuni kesalahanku’. Allah mewahyukan padanya: ‘Apakah Muhamad itu dan siapakah dia?’ Adam menjawab: ‘Ya Tuhanku, setelah Engkau menyempurnakan penciptaanku, kuangkat kepalaku melihat ke ‘Arsy, tiba-tiba kulihat pada “Arsy-Mu termaktub Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulallah. Sejak itu aku mengetahui bahwa ia adalah makhluk termulia dalam pandangan-Mu, karena Engkau menempatkan namanya disamping nama-Mu’. Allah menjawab: ‘Ya benar, engkau Aku ampuni,. ia adalah penutup para Nabi dari keturunanmu. Kalau bukan karena dia, engkau tidak Aku ciptakan’ ”.



Aqidah Ahlussunah (4 Madzhab) Bantah Aqidah Wahhaby (salafy)


بسم الله الرحمن الرحيم
  نحمده ونصلى على رسوله الكريم

Kira-kira seribu tahun yang lalu di Baghdad lahir seorang yang kelak menjadi salah seorang pakar (imam) dalam bidang ushul ad-din. Ia bernama Abu Mashur Abd al-Qahir bin Thahir bin Muhammad bin Abdullah al-Baghdadi at-Tamimi al-Isfirayaini. Ia tumbuh besar di Baghdad, setelah dewasa pergi ke Khurasan dan meninggal pada tahun 429 H/ 1037 M di Isfirayain.

Buktinya yang menunjukkan atas kepakaran al-Baghdadi adalah banyaknya karya yang lahir dari tangannya. Di antara karya yang paling terkenal dan menjadi salah rujukan utama mengenai aliran-aliran teologi dalam Islam adalah al-Farq baina al-Firaq (Perbedaan di antara Aliran-aliran). Sebuah buku yang mencoba menelusuri dan menjelaskan secara ringkas-padat tentang aliran-aliran teologi dalam Islam.
Salah satu rujukan yang digunakan al-Baghdadi dalam bukunya adalah buku Maqalat al-Islamiyyin karya Abu al-Hasan al-Asy’ari. Meskipun al-Baghdadi tidak menyebutkannya tetapi jika membandingkan kedua buku tersebut maka akan tampak jelas bahwa al-Baghdadi dalam banyak hal mengutip pendapat Abu al-Hasan al-Asy’ari.  
Salah satu contohnya adalah ketika al-Baghdadi menjelaskan tentang al-Yunusiyyah, yaitu salah satu sempalan dari sekte Murji`ah. Al-Baghdadi menjelaskan bahwa menurut mereka iman terdapat dalam hati dan lisan, yaitu mengetahui Allah, mencintai, dan tunduk kepada-Nya dan mengikrarkan dengan lisan. [H. 199]. Pemamparan al-Baghdadi ini sama seperti yang dijelaskan oleh Abu al-Hasan al-Asy`ari dalam Maqalat al-Islamiyyin. [Lihat Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, H. 132].
 Buku al-Baghdadi ini lahir sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai makna prediksi Nabi bahwa akan ada keterpecahan di antara umatnya (iftiraq al-ummah) menjadi tujuh puluh tiga sekte dan hanya satu yang selamat. Penulisnya membagi isi buku tersebut menjadi lima bab. [H. 9, 10].
Pertama, menjelaskan tentang hadits perpecahan umat menjadi tujuh puluh tiga sekte. Kedua, menjelaskan secara global mengenai sekte-sekte umat Islam dan sekte-sekte yang bukan termasuk Islam. Ketiga, menjelaskan pandangan setiap sekte yang sesat. Keempat, menjelaskan sekte yang berafiliasi kepada kepada Islam tetapi bukan dari kalangan sekte Islam. Kelima, menjelaskan sekte yang selamat.

Bab pertama, al-Baghdadi mencoba mengurai tranmisi (sanad) hadits tentang perpecahan. Menurut penelitiannya, ada banyak sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut dari Nabi Saw. Di antaranya ialah Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Darda, Jabir, Abu Sa’id al-Khudri, Ubay bin Ka’b, Abdullan bin Amr bin al-Ash, Abu Umamah, dan Watsilah bin al-Asyfa’. Sedangkan generasi setelah sahabat banyak yang meriwayatkan hadits tersebut dari para sahabat. [H. 16-17].
Dalam kacamata al-Baghdadi, bahwa perpecahan yang dimaksud dalam prediksi Nabi adalah perpecahan dalam arti perbedaan mengenai ushul ad-din bukan perbedaan dalam masalah cabang-cabang fiqh. Sebab, menurutnya, para fuqaha` meskipun berselisih dalam soal furu’ tetapi mereka bersepakat dalam hal yang menyangkut ushul ad-din. [H. 17].
Jadi, secara implisit al-Baghdadi berpandangan bahwa perbedaan pendapat para fuqaha` dalam soal furu’ tidak berdampak pada penyesatan terhadap mereka. Meskipun mereka salah dalam berpendapat. Sebab, dalam soal ushul ad-din mereka bersepakat.

Bab kedua, al-Baghdadi mencoba membahas tentang bagaimana terjadinya perpecahan umat sehingga mencapai tujuh puluh tiga sekte. Menurut al-Baghdadi, peristiwa awal yang menimbulkan perselisihan antara umat Islam adalah kematian Nabi saw. Sebagian ada yang menganggap bahwa Nabi saw tidaklah wafat, ia hanya dianggkat Allah swt ke langit sebagaimana yang terjadi pada nabi Isa as. Sebagian lagi mengatakan bahwa Nabi saw telah wafat.
Perselisihan ini kemudian dapat diselesaikan oleh Abu Bakar ra seraya berkata, “man kana ya’budu muhammadan fa inna muhammadan qad mata wa man kana ya’budu rabba muhammad fa innahu hayyun la yamut” (Barang siapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya ia telah wafat, dan barang siapa yang menyembah Tuhan Muhammad maka sesungguhnya Ia adalah Dzat Yang Maha Hidup dan tidak akan pernah mati). [H. 25].
Pandangan ini berbeda dengan Abu al-Hasan al-Asy`ari yang menyatakan bahwa awal mula timbulnya perselisihan dalam umat Islam adalah soal imamah. [Abu al-Hasan al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, H. 2]. Jadi, Al-Asy’ari melihat bahwa perselisihan umat Islam pada dasarnya bermula dari persoalan politis, yaitu menyangkut soal imamah atau kepempinan. Sedang al-Baghdadi melihat bahwa perselisihan itu berangkat dari persoalan teologis, yaitu tentang apakah Nabi telah wafat atau memang ia tidak wafat tetapi diangkat oleh Allah ke langit sebagaimana nabi Isa as.

Bagian ketiga, menguraikan pandangan atau keyakinan pelbagai sekte yang tersesat dan menjelaskan tentang kekeliruan pandangan mereka. Di antaranya adalah pandangan sekte Rafidhah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah, Murji`ah, Najjariyyah, dan lainnya. Pada bagian ini al-Baghdadi membeberkan aliran sempalan dari sekte-gologan tersebut secara ringkas dan padat sehingga memudahkan kepada para pembaca untuk mengkajinya.

Bab keempat, menguraikan tentang sekte yang berafiliasi pada Islam tetapi pada sebenarnya bukan termasuk dari sekte Islam. Dalam bagian ini al-Baghdadi menguraikan kembali perbedaan para teolog Islam (mutakallimin) mengenai siapa yang disebut atau diketegorikan sebagai umat Islam.
Salah satu sekte yang dianggap berafiliasi kepada Islam tetapi sebenarnya bukan Islam adalah Saba`iyyah, yaitu pengikut Abdullah bin Saba yang memposisikan sahabat Ali KW.dengan sangat berlebihan sehingga ia dianggap sebagai nabi. Bahkan sikap Abdullah bin Saba tidak berhenti sampai di sini saja, tetapi ia malah semakin jauh mengkultuskan sahabat Ali kw dengan menganggapnya sebagai Tuhan. [H. 335].

Bab kelima, menguraikan tentang sekte yang selamat, yaitu ahl as-sunnah wa al-jama’ah serta pandangan-pandangan yang mereka pegangi. Salah satunnya adalah pandangan mereka seputar Sang Pencipta alam semesta dan sifat-sifat dzatiyyah-Nya. Bagi ahl as-sunnah wa a-jama’ah Pencipta alam semesta adalah juga Pencipta ajsam (jisim-jisim) dan a’rad (aksiden-aksiden atau sifat-sifat).
Dengan pandangan ini mereka kemudian mengkafirkan Mu’ammar dan para pengikutnya dari kalangan Qadariyyah yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak menciptakan a’rad tetapi hanya mencipatakan ajsam. Dan ajsam-lah yang merupakan pencipta a’rad dengan sendirinya. [H. 337].Meskipun demikian, buku ini telah memberikan jasa yang sangat besar karena telah berhasil dengan baik menggambarkan pergolakan dan wacana pemikiran teologis pada saat itu. Mengenai aqidah ahlusunnah yang sangat penting dalam Bab ini ialah mengenai aqidah sunni “Allah ada Tanpa Tempat /Allah Maujud Bilaa Makan)
Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda: “Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud).
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, ‘Arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Al Imam Abu Hanifah dalam kitabnya al Fiqh al Absath berkata:
“Allah ta’ala ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada tempat, Dia ada sebelum menciptakan makhluk, Dia ada dan belum ada tempat, makhluk dan sesuatu dan Dia pencipta segala sesuatu”.
 Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah.  Dalam sebuah riwayat “Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu ‘alayhi wa sallam:
 “Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya), tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah alBathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu di bawah-Mu” (H.R. Muslim dan lainnya).
Jika tidak ada sesuatu di atas-Nya dan tidak ada sesuatu di bawah-Nya berarti Dia tidak bertempat”.

Tidak Boleh dikatakan Allah ada di atas ‘Arsy atau ada di mana-mana
Seperti dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari, perkataan sayyidina Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya-:
“Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat” (Dituturkan oleh al Imam Abu Manshur alBaghdadi dalam kitabnya al Farq bayna al Firaq h. 333).
Karenanya tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani (W. 973 H) dalam kitabnya al Yawaqiit Wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash: “Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana”. Aqidah yang mesti diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Al Imam Ali -semoga Allah meridlainya- mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya Allah menciptakan ‘Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untukmenjadikannya tempat bagi Dzat-Nya” (diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farq bayna al Firaq, hal. 333)

Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- juga mengatakan yang maknanya: “Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana” (diriwayatkan oleh Abu al Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)

Allah Maha suci dari Hadd

Maknanya: Menurut ulama tauhid yang dimaksud al mahdud (sesuatu yang berukuran) adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al hadd (batasan) menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-Dzarrah (sesuatu yang terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melalui jendela) mempunyai ukuran demikian juga ‘Arsy, cahaya, kegelapan dan angin masing-masing mempunyai ukuran.

Al Imam Sayyidina Ali -semoga Allah meridlainya- berkata yang maknanya: “Barang siapa beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W. 430 H) dalam Hilyah al Auliya’, juz I hal. 72).
Maksud perkataan sayyidina Ali tersebut adalah sesungguhnya berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang kecil atau berkeyakinan bahwa Dia memiliki bentuk yang meluas tidak berpenghabisan merupakan kekufuran. Semua bentuk baik Lathif maupun Katsif, kecil ataupun besar memiliki tempat dan arah serta ukuran. Sedangkan Allah bukanlah benda dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda, karenanya ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah mengatakan: “Allah ada tanpa tempat dan arah serta tidak mempunyai ukuran, besar maupun kecil”. Karena sesuatu yang memiliki tempat dan arah pastilah benda. Juga tidak boleh dikatakan tentang Allah bahwa tidak ada yang mengetahui tempat-Nya kecuali Dia. Adapun tentang benda Katsif bahwa ia mempunyai tempat, hal ini jelas sekali. Dan mengenai benda lathif bahwa ia mempunyai tempat, penjelasannya adalah bahwa ruang kosong yang diisi oleh benda lathif, itu adalah tempatnya. Karena definisi tempat adalah ruang kosong yang diisi oleh suatu benda.

Al Imam As-Sajjad Zayn al ‘Abidin ‘Ali ibn al Husain ibn ‘Aliibn Abi Thalib (38 H-94 H) berkata : “Engkaulah Allah yang tidak diliputi tempat”, dan dia berkata: “Engkaulah Allah yang Maha suci dari hadd (benda, bentuk, dan ukuran)”, beliau juga berkata : “Maha suci Engkau yang tidak bisa diraba maupun disentuh” yakni bahwa Allah tidak menyentuh sesuatupun dari makhluk-Nya dan Dia tidak disentuh oleh sesuatupun dari makhluk-Nya karena Allah bukan benda. Allah Maha suci dari sifat berkumpul, menempel, berpisah dan tidak berlaku jarak antara Allah dan makhluk-Nya karena Allah bukan benda dan Allah ada tanpa arah. (Diriwayatkan oleh al Hafizh az-Zabidi dalam al Ithaf dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua perawinya adalah Ahl al Bayt; keturunan Rasulullah). Hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang yang berkeyakinan Wahdatul Wujud dan Hulul.
Tentang Buku
Judul Buku : al-Farq baina al-Firaq
Penulis : Abu Manshur Abd al-Qahir bin Thahir bin Muhammad al-Baghdadi








Fadhilah Al Ikhlash

بسم الله الرحمن الرحيم
  نحمده ونصلى على رسوله الكريم





Ini saya dapatkan bukan dari kitab...namun ini disarikan dari bayan/tausiyah Maulana Muhammad Sa'ad hafizhulloh ta'ala cicit dari maulana Muhammad Ilyas al Kandhalawi rah.a ...
Beliau adl dzuriyyat sayyidina Abu Bakar r.anhu...semua dzuriyyat beliau r.anhu hingga ke Muhammad Sa'ad hafizhulloh adalh semua hafizh qur'an dan sebagian besar adalah hafizh kutubussittah...

Baca al-ikhlash 200 kalitiap hari fadhilahnya "
  • Menutup kemurkaan Alloh ta'ala.
  • Dibuka 300 pintu keberkahan.
  • Dibuka 300 pintu rizqi.
  • Diberi ilmu dan kesabaran dari Alloh ta'ala.
  • Diberi pahala 2000 sholat nafil.
  • Diampuni dosa 50 tahun.
  • Diberi pahala 66 khotam qur'an.
  • Diberi 20 istana di surga.
  • Akan disholatkan 110 malaikat pada saat meninggal.

In syaa Alloh amal...

Fadhilah Sholawat


بسم الله الرحمن الرحيم
  نحمده ونصلى على رسوله الكريم







Fadilah (keutamaan) bershalawat atas nabi sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran bahwa Allah Swt. dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat atas Nabi Muhammad Saw., seperti terlihat dalam firman-Nya: 

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersha-lawat untuk Nabi… .” (QS.33:56).

Penggalan ayat ini menunjukkan bahwa Allah Swt. melimpahkan rahmat bagi Nabi Muhammad Saw. dan para malaikat memintakan ampunan bagi Nabi Muhammad Saw. Karena itu, pada lanjutan ayat tersebut, Allah Swt. menyuruh orang-orang mukmin supaya bershalawat dan memberi shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.: “…Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

Untuk mengetahui keutamaan apakah yang diperoleh orang-orang yang bershalawat, baiklah kita perhatikan maksud-maksud hadis yang di bawah lni.

Bersabda Nabi Saw.
 Artinya: “Barangsiapa bershalawat untukku sekali, niscaya Allah bershalawat untuknya sepuluh kali.” (HR. Muslim dari Abû Hurairah).

 Artinya: “Bahwasanya bagi Allah Tuhan semesta alam ada beberapa malaikat yang diperintah berjalan di muka bumi untuk memperhatikan keadaan hamba-Nya. Mereka me-nyampaikan kepadaku (sabda Nabi) akan segala salam yang diucapkan oleh ummatku.” (HR. Ahmad. Al-Nasâ’i dan Al-Darimî).

 Artinya: “Barangsiapa bershalawat untukku dipagi hari sepuluh kali dan di petang hari sepuluh kali, mendapatlah ia syafa’atku pada hari qiamat.” (HR. Al-Thabrânî)

 Artinya: “Manusia yang paling utama terhadap diriku pada hari qiamat, ialah manusia yang paling banyak bershalawat untukku.” (HR. Al-Turmudzî).

Artinya: “Jibril telah datang kepadaku dan berkata: ‘Tidakkah engkau ridha (merasa puas) wahai Muhammad, bahwasanya tak seorang pun dari umatmu bershalawat untukmu satu kali, kecuali aku akan bershalawat untuknya sebanyak sepuluh kali? Dan tak seorang pun dari umatmu mengucapkan salam kepadamu, kecuali aku akan meng-ucapkan salam kepadanya sebanyak sepuluh kali?! (HR. Al-Nasâ’i dan Ibn Hibban, dari Abû Thalhah).

Sabda Rasulullah Saw. yang Artinya: “Barangsiapa -ketika mendengar azan dan iqamat mengucapkan: “Allâhumma Rabba Hâdzih al-Da’wât al-Tâmmah, wa al-Shalât al-Qâ’imati, shalli ‘alâ muhammadin ‘abdika wa Rasûlika, wa A’tihi al-Washîlata wa al-Fadhîlata, wa al-Darâjata al-Râfi’ata, wa al-Syafâ’ata yawm al-Qiyâmati (Artinya: “Ya Allah, ya Tuhannya seruan yang sempurna ini, serta shalat yang segera didirikan ini, limpahkanlah shalawat untuk Muhammad, hamba dan rasul-Mu. Dan berilah ia wasilah dan fadilah serta derajat yang amat tinggi dan (izin untuk) bersyafaat pada hari Kiamat)…, maka (bagi siapa yang mengucapkan doa tersebut) niscaya akan beroleh syafaatku kelak.”

Al-Ghazali didalam kitabnya Ihyâ ‘Ulûm al-Dîn menceritakan seorang dari mereka (seorang dari kalangan ulama, sufi, ahli ibadah dsb.) pernah berkata: “Sementara aku menulis (catatan tentang) beberapa hadis, aku selalu mengiringinya dengan menuliskan shalawat untuk Nabi Saw., tanpa melengkapinya dengan salam untuk beliau. Malamnya aku berjumpa dengan beliau dalam mimpi, dan beliau berkata kepadaku: ‘Tidakkah sebaiknya engkau melengkapi shalawatmu untukku dalam bukumu itu?’ Maka sejak itu, tak pernah aku mengucapkan shalawat kecuali melengkapinya dengan ucapan salam untuk beliau.”

Diriwayatkan dari Abû Al-Hasan, katanya: “Aku pernah berjumpa dengan Nabi Saw. dalam mimpi, lalu kukatakan kepada beliau: ‘Ya Rasulullah, apa kiranya ganjaran bagi Al-Syâfi’i, ketika ia bershalawat untukmu dalam kitabnya: Al-Risâlah dengan ungkapan: ‘Semoga Allah bershalawat atas Muhammad setiap kali ia disebut oleh para penyebut, dan setiap kali sebutan tentangnya dilalaikan oleh para pelalai?’ Maka Nabi Saw. menjawab: ‘Karena ucapannya itu, ia dibebaskan dari keharusan menghadapi perhitungan (hisab pada hari Kiamat).’”
Dalam kitab yang sama (Ihya) Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa sesungguhnya berlipatganda-nya pahala shalawat atas Nabi Saw. adalah karena shalawat itu bukan hanya mengandung satu kebaikan saja, melainkan mengandung banyak kebaikan, sebab di dalamnya ter-cakup :
  1. Pembaharuan iman kepada Allah.
  2. Pembaharuan iman kepada Rasul.
  3. Pengagungan terhadap Rasul.
  4. Dengan inayah Allah, memohon kemuliaan baginya.
  5. Pembaharuan iman kepada Hari Akhir dan berbagai kemuliaan.
  6. Dzikrullah.
  7. Menyebut orang-orang yang shalih.
  8. Menampakkan kasih sayang kepada mereka.
  9. Bersungguh-sungguh dan tadharru’ dalam berdoa.
  10. Pengakuan bahwa seluruh urusan itu berada dalam kekuasaan Allah
Masih banyak keutamaan-keutamaan bagi orang-orang yang melakukan atau membaca shalawat atas Nabi. Namun penyusun hanya menukil beberapa hadis dan qawl (perkataan) ulama.
Adapun faedah atau manfaat bershalawat atas Nabi Muhammad Saw. sebagaimana dijelaskan hadis-hadis di atas terdapat sembilan belas perkara, yakni:
  1. Memperoleh curahan rahmat dan kebajikan dari pada Allah Swt.;
  2. Menghasilkan kebaikan, meninggikan derajat dan menghapuskan kejahatan;
  3. Memperoleh pengakuan kesempurnaan iman, apabila kita membacanya 100 Kali;
  4. Menjauhkan kerugian, penyesalan dan digolongkan ke dalam golongan orang-orang yang shalih;
  5. Mendekatkan diri kepada Allah;
  6. Memperoleh pahala seperti pahala memerdekakan budak;
  7. Menghasilkan syafa’at;
  8. Memperoleh penyertaan dari Malaikat rahmah;
  9. Memperoleh hubungan yang rapat dengan Nabi; Seseorang yang bershashalawat dan bersalam kepada Nabi, shalawat dan salamnya itu disampaikan kepada Nabi;
  10. Membuka kesempatan berbicara dengan Nabi Saw.;
  11. Menghilangkan kesusahan, kegundahan dan meluaskan rezeki;
  12. Melapangkan dada. Apabila seseorang membaca shalawat 100 kali, maka Allah akan melapangkan dadanya dan memberikan penerangan yang sinar seminarnya ke dalam hatinya;
  13. Menghapuskan dosa. Apabila seseorang membaca dengan tetap tiga kali setiap hari, maka Allah akan menghapuskan dosanya;
  14. Menggantikan shadaqah bagi orang yang tidak sanggup bershadaqah;
  15. Melipatgandakan pahala yang diperoleh. Apabila seseorang bershalawat di hari Jumat, maka Tuhan akan memberikan kepadanya pahala yang berlipat ganda;
  16. Mendekatkan kedudukan kepada Rasulullah di hari qiamat. Menyebabkan doa bisa diterima oleh Allah.
  17. Menyebabkan doa bisa diterima oleh Allah;
  18. Melepaskan diri dari kebingungan di hari qiamat. Apabila seseorang meninggalkan shalawat kepada Nabi, maka ia akan menghadapi kebingungan dan kekacauan di hari mahsyar;
Memenuhi satu hak Nabi, atau menunaikan suatu tugas ibadat yang diwajibkan atas kita Apabila sese-orang tidak bershalawat, berartilah ia enggan memenuhi suatu haq Nabi yang wajib ia penuhi;

Nabi sholAllohu 'alayhi wasalam telah Alloh jadikan wasilah bagi kebaikan semesta alam...

keridhoan Alloh kpd beliau adalah sangat tinggi...sehingga debu yg menempel pd terompah beliau pun lebih dimuliakan Alloh daripada arsyNya sendiri...

"keberuntungan yg tak terhingga bagi yg banyak bersholawat kpd beliau sholAllohu 'alayhi wasalam"

"kebahagiaan dan kejayaan hakiki akan diberikan Alloh kpd yg menjadikan sholawat sbg warna kehidupannya"

"hakikat tertinggi dr sholawat adalah mengikuti setiap peri kehidupan beliau  sholAllohu 'alayhi wasalam...zhahir dan bathin...dari ujung rambut ke ujung kaki...dari yg nampak besar samapai yg namapak kecil...dari yg disukai nafsu sampai yg bertolak belakang dgn nafsu"

nabi  sholAllohu 'alayhi wasalam bersabda
"tidak sempurna iman seseorang shg dia menyandarkan seluruh nafsunya pd kehidupan yang aku bawa"

Allohumahdinaa...